Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Isu dedolarisasi semakin menghantui dolar AS usai sejumlah negara mengurangi ketergantungannya terhadap dolar Amerika Serikat, di tengah lonjakan inflasi akibat ketidakpastian ekonomi global.
Tiongkok misalnya, negara ini belakangan aktif melakukan perdagangan LNG dengan Prancis dalam mata uang yuan. Hal serupa juga dilakukan negara Rusia.
Pasca disanksi presiden AS Joe Biden, negara pimpinan Vladimir Putin ini mulai meninggalkan dolar dan beralih menggunakan mata uang rubel untuk melangsungkan kerjasama internasional dengan sejumlah negara tetangga.
Baca juga: Dedolarisasi Menggema, Indonesia Bakal Jadi Poros Baru Kekuatan Ekonomi Dunia?
Terbaru, negara aliansi BRICS mencakup Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan juga tengah bersiap untuk meninggalkan dolar AS sebagai gantinya mereka mulai menciptakan alat pembayaran baru yang jauh lebih ramah ketimbang dolar Amerika.
Pengertian Dedolarisasi
Dedolarisasi sendiri merupakan proses penggantian dolar ke mata uang fiat lainnya dalam aktivitas perdagangan hingga perjanjian perdagangan bilateral.
Peran Dolar
Perlu diketahui sejak perang dunia I, dolar AS muncul sebagai kekuatan ekonomi global. Dominasinya yang terus menguat bahkan mendorong sejumlah negara di dunia menggelar Perjanjian Bretton Woods pada 1944 untuk mengukuhkan status dolar sebagai mata uang cadangan utama.
Sejak saat itu hampir 80 persen transaksi internasional, seperti perdagangan. , investasi, dan transaksi keuangan. Sebagian besar dilakukan dengan melibatkan dolar AS.
Namun seiring berjalannya waktu, dolar AS mulai mengalami penurunan popularitas. Dalam perdagangan dunia di tahun 1999 dolar bahkan pernah anjlok sebesar 71 persen.
Meski dominasi dolar dapat kembali bangkit, namun memasuki tahun 2021 lembaga keuangan dunia IMF, mencatat permintaan atas dolar AS oleh bank sentral dunia anjlok ke level terendah dalam 25 tahun.
Kemudian di tahun 2022 isu dedolarisasi semakin menguat dan membuat nilai dolar kembali amblas sekitar 59 persen. Terakhir indeks dolar yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya turun 0,39 persen selama pekan ini.
“Pangsa dolar AS di cadangan devisa global selama 2022 anjlok 10 kali lebih cepat dari rata-rata dalam 20 tahun terakhir. Kondisi tersebut berlanjut hingga dolar AS menderita keruntuhan yang menakjubkan, " ujar Stephen Jen, CEO perusahaan keuangan Eurizon SLJ Capital.
Penyebab Dedolarisasi
Para ekonom menilai dedolarisasi mulai terjadi setelah Amerika memberlakukan sanksi keuangan terhadap Rusia, sanksi tersebut awalnya dimaksudkan untuk memukul ekonomi negara beruang merah itu agar invasi di Ukraina dapat berhenti.
Namun sayangnya pasca kebijakan tersebut diberlakukan, Rusia dan sejumlah mitra kerjanya mulai meninggalkan dolar dan beralih ke mata uang yang lebih ramah terhadap perdagangan internasional, seperti yang dikutip dari Mirage News.
Mulai dari situ nilai dolar mulai mengalami penurunan nilai ditengah kenaikan suku bunga dan lonjakan inflasi.
Pelemahan dolar AS bahkan berbanding lurus dengan realisasi pertumbuhan ekonomi AS kuartal I yang lebih kecil dari perkiraan. Dimana ekonomi AS hanya tumbuh di level 1.1 persen (YoY).
Dampak Dedolarisasi
Imbas ditinggalkannya dolar, cadangan devisa global dilaporkan turun dari 71 persen menjadi 60 persen terhitung sejak tahun 1999, sebagaimana dikutip dari data yang dirilis IMF.
Baca juga: Dedolarisasi Bisa Bikin Rupiah Lebih Stabil, Begini Analisis Para Ekonom
Hal ini terjadi lantaran dolar AS menyumbang 58,36 persen dari cadangan devisa global. Lebih unggul ketimbang dominasi Euro yang hanya berkontribusi sekitar 20,5 persen dari cadangan devisa global sementara yuan Tiongkok hanya menyumbang 2,7 persen.
Berbanding terbalik dengan yang lainnya, pasca AS dihantam dedolarisasi pergerakan pasar kripto justru terus mengalami peningkatan tajam.
Khususnya, Bitcoin yang kini mulai dianggap sebagai komoditas marjinal dalam cadangan bank sentral usai volume perdagangan koin kripto ini meningkat sebesar 30 persen menjadi 77 miliar dolar AS pada kuartal awal 2023.
Calon Pengganti Dolar AS
Sejumlah negara saat ini tengah berlomba untuk mengangkat mata uangnya agar dapat mengalahkan dominasi dolar, berikut rangkuman mata uang fiat yang berpotensi mengungguli popularitas dolar.
1. Euro
Mata uang Euro belakangan mulai kembali digunakan oleh 20 negara-negara besar Eropa, seperti Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, dan Belanda. Sediknya 66,1 persen perdagangan di Eropa mulai beralih menggunakan Euro.
2. Mata uang BRICS
Negara aliansi BRICS dilaporkan tengah bersiap untuk meninggalkan dolar AS sebagai alat transaksi perdagangan antarnegara. Sebagai gantinya aliansi negara BRICS yakni Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan mulai beralih menciptakan mata uang baru.
3. Yuan
Mata uang asal China, Yuan perlahan mulai dilirik sejumlah negara sebagai alat transaksi dalam perdagangan global.
4. Rupee India
Sejak April 2023, India telah mengeluarkan kebijakan baru untuk mendorong perluasan rupee dalam perdagangan internasional.
Berkat perjanjian tersebut bank sentral India RBI resmi memberikan persetujuan untuk membuka 60 rekening khusus rupee vostro di 18 negara termasuk Rusia dan Sri Lanka, melansir dari Firstpost.
5. Mata uang lokal ASEAN
Tak mau ketinggalan dengan yang lainnya, negara-negara ASEAN yang terdiri dari Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina juga turut merilis mata uang baru yang dapat menggantikan peran dolar dalam perdagangan internasional.
Dinamai sebagai Local currency transaction (LCT), nantinya sistem pembayaran ini dapat memudahkan negara – negara di Asia Tenggara untuk melakukan transaksi lintas batas melalui kode QR, fast payment, data, hingga transaksi mata uang lokal.