Apabila dalam dua hingga tiga bulan mendatang tidak dibayarkan, ia mengatakan Aprindo akan menjalankan sejumlah opsi.
Opsi tersebut meliputi beberapa hal. Pertama, mengurangi pasokan minyak goreng di ritel.
"Opsi itu pengurangan. Bukan penghentian pembelian. Jadi, enggak serta merta menghilangkan minyak goreng di ritel. Jadi, dikurangi dulu agar bisa diperhatikan," ujar Roy.
Opsi berikutnya, Roy mengatakan akan menempuh jalur hukum. Namun, ia menegaskan, itu menjadi pilihan paling terakhir.
"Kami akan gerakkan segala opsi, termasuk opsi hukum jika tak ada pilihan. Itu paling terakhir karena kami masih berupaya untuk tidak menempuh cara-cara hukum dan lain sebagainya karena itu membebani kita," kata Roy.
"Yang tadinya kita berpikir untuk dagang, akhirnya berpikir untuk (menempuh jalur, red) hukum. Kami mengurangi itu. Jadi kita akan terus suarakan perjuangan kami ini," ujarnya melanjutkan.
Tanya Aturan
Beberapa waktu lalu, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menegaskan pihaknya belum bisa melakukan pembayaran utang kepada Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
Diketahui, Kemendag tak kunjung melakukan pembayaran penggantian selisih harga jual dengan harga keekonomian minyak (rafaksi) kepada Aprindo, di mana nilainya Rp344 miliar.
Hal itu dikarenakan belum ada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang mengatur terkait pembayaran utang ini.
Nantinya, pembayaran akan dilakukan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kepala Sawit (BPDPKS).
"Jadi, BPDPKS itu mau bayar, tetapi Permendagnya sudah tidak ada. Maka perlu adanya payung hukum. BPDPKS mau bayar kalau ada aturannya. Kalau tidak ada aturannya, BPDPKS bisa masuk penjara," ujar Zulkifli di kantor Kementerian Perdagangan, Kamis (4/5/2023).
Sebelumnya, ada Permendag Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Pada pasal 7 dalam Permendag tersebut menyatakan, pelaku usaha akan mendapat dana dari BPDPKS.