News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Indef Nilai Penerapan Innovative Credit Scoring Dapat Tingkatkan Akses Kredit

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi. Indef menilai penggunaan Innovative Credit Scoring (ICS) untuk mengukur kelayakan calon penerima kredit sangat diperlukan.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai penggunaan Innovative Credit Scoring (ICS) untuk mengukur kelayakan calon penerima kredit sangat diperlukan.

Menurutnya, ICS dapat menjadi solusi atas persoalan data individu calon penerima kredit.

"Di berbagai negara orang itu pasti punya kredit, memang persoalan kita adalah data. KTP saja orang bisa punya dua atau tiga sehingga data di negara kita tidak bagus," ucap Aviliani dalam Diskusi Publik bertajuk Masa Depan Innovative Credit Scoring Pasca UU P2SK di Jakarta, Selasa (27/6/2023).

Baca juga: Risiko Iklim dan Kredit Korporasi: Keterlibatan Pemangku Kepentingan Menjadi Kunci

Aviliani menuturkan ICS dapat memanfaatkan data-data nonekonomi keuangan yang tersedia yakni data telekomunikasi, data e-commerce, dan data digital footprints lainnya.

Kemudian data ICS itu perlu terhubung dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga data dan informasi setiap debitur akan lebih komprehensif.

"Melalui penggunaan ICS ini kita dapat memperhatikan faktor-faktor apa saja yang menggambarkan karakteristik dari pada calon debitur," ukas Aviliani.

Lebih lanjut, ICS juga sejalan dengan era digitalisasi yang tidak terelakan seiring perkembangan zaman.

"Dominasi Gen Z dan Gen Y sekarang sudah hampir 60 persen, nanti diperkirakan akan menjadi 70 persen dan mau tidak mau digitalisasi suatu keniscayaan," urai Aviliani.

"Maka ICS menjadi penting karena struktur penduduk dari 300 juta yaitu 100 jutanya adalah kelompok miskin dan hampir miskin," tambah dia.

Dia menambahkan income per kapita (GDP) Indonesia yang mengalami tren naik dan turun perlu mendapat perhatian sejalan dengan penerapan ICS.

Indef memperkirakan ekonomi kelas menengah Indonesia cenderung akan meningkat ke depan, berkaca dari pendapatan per kapita masyarakat telah di atas batas yaitu 4.050 dolar Amerika Serikat (AS) pada 2019, sedangkan, batasnya adalah 3.840 dolar AS.

Pengeluaran Rumah Tangga kelas atas yang mencakup 20 persen total penduduk, telah berkontribusi 45,49 persen dari total konsumsi, kelas menengah yang mencakup 40 persen penduduk berkontribusi 36.78 persen dari total konsumsi, dan kelas bawah yang mencakup 40 persen berkontribusi 17.73 persen.

"Lebih dari 80 persen disumbang pengeluaran rumah tangga kelas menengah dan atas, sedangkan 100 juta kelompok miskin dan hampir miskin pengeluarannya hanya 17 persen makanya masih perlu BLT, kalau bicara ICS siapa sasarannya," ucap Aviliani.

Aviliani menambahkan ICS juga dapat menimbulkan risiko bubble ekonomi atau kredit macet.

"Mengapa jadi bubble ekonomi karena debitur yang tadinya laik dapat kredit Rp100 juta menjadi Rp500 juta, kemudian dia konsumsi besar-besaran habis itu amblas. Jadi pertumbuhan ekonomi juga nggak sustain dan kredit macet tumbuh," tukasnya.

Menurut Aviliani bukan hanya persoalan izin yang diperhatikan regulator namun ICS perlu masuk ke dalam SLIK yang dibagi menjadi dua bankable dan unbankable.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini