Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menyatakan, pemerintah perlu bersiap menghadapi pihak asing yang tak sejalan dengan kebijakan hilirisasi yang dijalankan oleh Indonesia.
Hal tersebut merespon Dana Moneter Internasional (IMF) yang mengimbau Indonesia mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap terhadap pembatasan ekspor nikel. Bahkan tidak memperluas pembatasan ekspor ke komoditas lainnya.
Ketua Bidang Maritim, Kelautan, dan Perikanan Badan Pengurus Pusat Hipmi, Fathul Nugroho mengatakan, kebijakan hilirisasi yang dijalankan Presiden Joko Widodo dinilai sudah tepat.
Baca juga: Pemerintah Geram IMF Usik Kebijakan Larangan Ekspor Nikel, Bahlil Lahadalia: Jangan Ikut Campur
Kata dia, HIPMI mendukung sikap Pemerintah yang dengan tegas menolak himbauan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menghapus pembatasan ekspor nikel.
"Kebijakan hilirisasi sudah berjalan dengan baik. Terutama di sektor mineral, beleid tersebut berhasil meningkatkan investasi dan nilai tambah ekspor hasil pengolahan mineral," ujar Fathul dalam keterangannya, Sabtu (1/7/2023).
Fathul mengatakan, kebijakan hilirisasi yang digalakkan pemerintahan Jokowi dapat mengerek pertumbuhan ekonomi nasional. Tak ayal jika ada pihak asing, termasuk IMF yang terkesan kurang suka dengan langkah yang diambil Indonesia.
Fathul pun berpesan agar Pemerintah tetap pada pendiriannya, dan tak gentar dengan manuver yang dilakukan pihak asing.
"Pemerintah harus berani dan siap menghadapi pihak luar negeri yang kontra kebijakan tersebut, termasuk IMF, dan mendukung Menko Marivest Luhut Binsar Pandjaitan untuk menjelaskan ke IMF," ujarnya.
Fathul menyatakan, IMF seharusnya bersikap yaitu dengan menghitung cost and benefit analysis dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kata dia, IMF juga tidak patut mementingkan negara lain. Sebab, selama ini telah terjadi defisit neraca perdagangan yang cukup besar antara Indonesia dan negara pengimpor nikel, khususnya China.
Karenanya, pemerintah harus segera memperluas hilirisasi di sektor lain, khususnya kelautan dan perikanan. Terlebih, Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan luas lautan dan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang tahun 2022, nilai ekspor produk perikanan mencapai 6,24 miliar dolar AS, atau naik 9,15 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Capaian ini didapat dari pengiriman ke Amerika Serikat, China, Jepang, serta negara-negara lain di ASEAN dan Uni Eropa.
Tuna-Cakalang-Tongkol (TCT) menjadi penyumbang nilai ekspor terbesar setelah udang. Kelompok ikan pelagis khususnya tuna, masih menjadi komoditas andalan yang terus diminati pasar global.
"Apabila hasil laut dan perikanan dapat diolah menjadi produk bernilai tambah, maka diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan nilai ekspor hingga berkali lipat seperti di komoditas nikel," terangnya.