Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasar saham Indonesia selama pekan lalu hanya efektif beroperasi selama dua hari karena ada cuti bersama Hari Raya Idul Adha, ditandai dengan penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 0,3 persen.
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Mino mengatakan, penguatan terbesar di sektor keuangan sebesar 1,8 persen, infrastruktur 0,3 persen, dan konsumen primer 0,2 persen.
Sementara, saham-saham sektoran yang melemah pada pekan lalu adalah sektor energi minus 3 persen, teknologi minus 0,8 persen, serta transportasi dan logistik sebesar 0,7 persen.
Dia menjelaskan, ada sentimen positif yang membuat IHSG berhasil bertengger di zona hijau, yaitu adanya aksi beli investor asing.
"Meskipun perdagangan hanya berjalan selama dua hari. Namun, asing mencatatkan pembelian bersih Rp0,27 triliun di pasar regular," ujar Mino dalam risetnya di Jakarta, Senin, (3/7/2023).
Mino mengungkapkan, asing banyak melakukan pembelian bersih di beberapa saham antara lain PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp254 miliar, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) Rp129 miliar, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Rp125 miliar, PT Mandala Multifinance Tbk (MFIN) Rp104 miliar, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Rp49 miliar, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Rp43 miliar.
"Dengan pembelian bersih tersebut, maka sejak awal tahun asing net buy Rp22,22 triliun," katanya.
Sementara itu, sentimen negatif yang membuat market tidak bisa melaju lebih kencang yakni pendeknya hari perdagangan.
Dirinya berpendapat untuk mengambil keputusan trading atau investasi orang cenderung wait and see, sehingga mereka mager alias malas gerak dan sudah kepikiran untuk liburan.
Baca juga: IHSG Berpotensi Menguat Jelang Rilis Inflasi, Simak Menu Saham Hari Ini
Selanjutnya, berbicara tentang potensi market pada minggu ini, trader saham diimbau untuk memerhatikan sentimen domestik dan eksternal.
Dari domestik, Mino menyebutkan data manufaktur, data inflasi, dan data cadangan devisa menjadi fokus perhatian investor.
"Data manufaktur Juni sudah keluar di level 52,5 yang berarti positif. Manufaktur kita kembali ekspansif untuk ke-22 kalinya secara berturut-turut," tutur dia.
Baca juga: Akhir Bulan, Rupiah Naik ke Rp 14.993/Dolar AS, IHSG Turun Tipis ke 0,04 Persen 6.661
Sentimen berikutnya, yakni data inflasi inflasi Juni 2023 yang diprediksi akan kembali turun menjadi 3,62 persen secara tahunan dari sebelumnya 4 persen.
Sementara itu, inflasi inti juga diprediksi akan turun menjadi 2,64 persen secara tahunan dari sebelumnya 2,66 persen.
Sentimen domestik terakhir yang perlu diperhatikan yakni data cadangan devisa, di mana pada Mei lalu mengalami penurunan dari 144,2 miliar dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 139,3 miliar dolar AS karena adanya pembayaran utang pemerintah.
"Meskipun turun, cadangan devisa tersebut dinilai Bank Indonesia masih tinggi seiring kecukupannya untuk membiayai impor selama 6 bulan, dua kali lipat dari standar kecupukan international selama tiga bulan," ujarnya.
Sementara itu, sentimen eksternal yang perlu diperhatikan yakni FOMC minutes atau pertemuan Bank Sentral AS (The Fed), non-farm payrolls, dan perkembangan harga komoditas.
"Pada pertemuan bulan lalu, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 5,25 persen. Namun, memberikan sinyal adanya kemungkinan tambahan kenaikan suku bunga sebanyak dua kali masing-masing 25 bps," kata Mino.
Dia menambahkan, dalam testimoninya Gubernur The Fed kembali menegaskan bahwa usaha untuk menekan angka inflasi ke kisaran dua persen masih jauh dari kata selesai.
The Fed juga tidak menutup kemungkinan hanya akan menahan suku bunga, jika angka inflasi lebih baik dari perkiraan atau tergantung data ekonomi.
Selanjutnya dijelaskan Mino, non-farm payrolls Juni diprediksi akan bertambah sebanyak 225 ribu, lebih rendah dari penambahan bulan sebelumnya sebanyak 339 ribu.
"Dengan penambahan tersebut, diharapkan angka tingkat pengangguran tidak mengalami perubahan yaitu berada di level 3,7 persen. Sementara itu, upah per jam pertumbuhannya diprediksi akan melambat menjadi 4,2 persen dari sebelumnya 4,3 persen," pungkasnya.