TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan kebun sawit 3,3 juta hektare dalam kawasan hutan melalui jalur pemutihan dinilai bukan solusi tepat, justru mengabaikan upaya penegakan yang seharusnya dilakukan.
Sekretaris Jendral Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan, penyelesaian penguasaan sawit dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh badan usaha, individu atau perkebunan rakyat harus didasarkan pada tipologi yang ada di lapangan.
Baca juga: Kemenko Perekonomian Beberkan Penyebab Ekspor Sawit Turun di Kuartal I 2023
“Tipologi tersebut bisa dilihat dari segi subyek yang menguasai lahan, luasan lahan yang dikuasai, lalu bagaimana status kawasan sebelum adanya penguasaan, termasuk penyelesaian berdasarkan setiap fungsi kawasan," ujar Darto dalam keterangannya, Senin (3/7/2023).
Ia menyebut, basis tipologi tersebut yang seharusnya diidentifikasi atau diverifikasi berdasarkan data yang pemerintah sudah kantongi, sehingga pilihan penyelesaiannya dilakukan dengan penegakan hukum yang tegas dan di sisi lain melalui pemetaan kawasan hutan.
Menurutnya, penyelesaian kebun sawit rakyat dalam kawasan hutan seharusnya ditangani secara berbeda dengan kebijakan yang afirmatif, sehingga tidak menimbulkan problem sosial dan menciptakan kemiskinan baru di perkebunan.
Baca juga: PPATK Endus Dugaan Praktik Suap ke Pejabat di Industri Sawit
“Kategori perkebunan rakyat harus didefinisikan secara jelas, basisnya pada karateristik petani, seperti identitas dan keberadaan mereka harus jelas, luasan lahan, jangka waktu penguasaan dan karateristik lainnya yang relevan, sehingga resolusi penyelesaiannya lebih tepat sasaran dan transparan," ujarnya.
Ia menjelaskan, penyelesaian yang ditawarkan dalam UU Cipta Kerja juga dapat menimbulkan soal baru, terutama mengenai luas lahan yang dapat diselesaikan dalam strategi penataan kawasan hutan, yang mana dinyatakan dalam UU Cipta Kerja dibatasi maksimal 5 hektar.
"Artinya, skala usaha kurang dari 25 hektar yang dikelola pekebun dalam UU Perkebunan, tidak semua diselesaikan dalam strategi penyelesaian kawasan hutan," paparnya.
"Lalu bagaimana dengan petani yang memiliki 6 hektar dan seterusnya atau kurang dari 25 hektar, apakah ada mekanisme di luar strategi penataan kawasan hutan ini. Hal ini yang belum didetailkan dalam skema penyelesaian dalam UU Cipta Kerja," sambungnya.
Karena itu, Darto menilai, penyelesaian dengan strategi “jalan tol” melalui pemutihan akan berpotensi dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memanipulasi data kepemilikan atau merekayasa luasan lahan yang mereka kuasai dalam kawasan hutan.
"Terutama oleh kalangan pemodal dengan lahan lebih dari 25 hektar," ucapnya.