Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beras menjadi komoditas terbesar yang menyedot belanja rumah tangga masyarakat, terutama rumah tangga miskin.
Menurut pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori, hal tersebut merupakan sebuah permasalahan besar.
Ia mengatakan, jika harga beras sedikit saja mengalami kenaikan, bisa dipastikan hal tersebut akan mengganggu daya beli masyarakat miskin.
Baca juga: Bulog Ungkap Alasan Penyaluran Bantuan Pangan Beras Molor Hingga Juli: Ada Penembakan di Papua
Hal tersebut diungkap Khudori dalam diskusi daring bertajuk Keberhasilan Program Bantuan Pangan dan Tantangan Kedepan, Rabu (2/8/2023).
"Kalau kita menggunakan data garis kemiskinan yang disumbang oleh pangan, data terakhir yang garis kemiskinan Maret 2023, itu 74,5 persen adalah konsumsi atau disumbang makanan," kata Khudori.
"Dari jumlah itu beras sangat dominan, sebesar 21,54 persen. Jadi kita bisa paham betul kalau harga beras itu naik sedikit saja, itu warga miskin akan sangat terganggu daya belinya," lanjutnya.
Khudori melanjutkan, tak hanya mereka yang berada di garis kemiskinan akan terganggung daya belinya, tetapi juga warga yang berada sedikit di atas garis kemiskinan.
Kemudian, ia menyebutkan bahwa dari sisi produsen, usaha tani padi melibatkan 13,155 juta rumah tangga atau sama dengan 46 juta jiwa (17 persen dari total penduduk).
Baca juga: Singapura Nego Kontrak Penjualan 500.000 Ton Beras Dengan Thailand dan Vietnam
"Nah, dengan konstelasi seperti itu, kita bisa paham betul bahwa pemerintah tidak akan main-main dengan beras. Makanya beras bukan hanya komoditas ekonomi, tapi juga komoditas politik," ujar Khudori.
Sebagai informasi, harga beras hari ini terpantau melonjak. Mengutip data Panel Harga Badan Pangan Nasional, harga beras premium naik 0,29 persen atau Rp 40, menjadi Rp 13.660 per kilogram. Harga beras medium naik 0,08 persen atau Rp 10, menjadi Rp 11.960 per kilgoram.