News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Rumor Deindustrialisasi Kian Santer, Bagaimana dengan Indonesia?

Penulis: Lita Febriani
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Pabrik Toyota Plant 2, Karawang, Jawa Barat, Senin (7/8/2023).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dominasi berbagai produk asal China membuat industri di banyak negara kian terpengaruh.

Faktanya, produk buatan China tersebut banyak dijual lebih murah ketimbang produk buatan dalam negeri suatu negara.

Kondisi ini bisa menciptakan deindustrialisasi sektor manufaktur. Deindustrialisasi sendiri merupakan kondisi dimana industri tidak dapat berperan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Baca juga: Wamendag Akui Industri Batubara Sebagai Penopang Utama Neraca Perdagangan Negara

Peneliti LPEM UI dan Tenaga Ahli Menkeu Kiki Verico, mengatakan sejarah deindustrialisasi itu pertama kali terjadi saat Amerika Serikat menguasai industri dunia setelah perang dunia ke-2, kemudian kalah dengan Jepang.

"Bukan hanya Amerika, tetapi jam merek Swiss juga dikalahkan Casio dari Jepang. Kemudian sepeda motor dulu itu yang menjadi penguasa dunia Inggris, di tahun 1970-an kemudian diambil alih Jepang, lalu mesin fotocopy, alat musik itu juga dikuasai Jepang semua," tutur Kiki dalam diskusi Forum Wartawan Industri, Senin (7/8/2023).

Kondisi Jepang pada tahun 1970-an tersebut saat ini juga terjadi terhadap China. Dimana produk China banyak menguasai banyak sektor.

Kondisi deindustrialisasi yang saat ini terjadi terlihat dari Amerika Serikat, karena ekonomi Negeri Paman Sam ini overhead atau panas karena inflasi tinggi dan fiskal balance-nya defisit, dimana artinya negaranya sedang susah.

Lalu pertanyaannya, apakah kondisi di Amerika Serikat juga dirasakan di Indonesia?

"Jawabannya tidak. Inflasi Indonesia rendah, nilai tukar rupiah masih stabil, pertumbuhan ekonomi Indonesia walaupun 5 persen, tetapi itu lebih tinggi daripada inflasinya.

Jadi ekonominya resilience, buktinya ketika pandemi tidak ada masalah apa-apa.

Baca juga: Industri Farmasi Musnahkan 3 Produk Obat Sakit Perut yang Tak Penuhi Syarat Keamanan BPOM

Jadi tidak ada cara untuk mendefinisikan Indonesia untuk deindustrialisasi, karena market domestiknya oke," jelas Kiki.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan kondisi produk Indonesia yang kalah dari China?

"Itu karena transformasi, itu isu utamanya, bukan deindustrialisasi. Kita harus mentransfer ekonomi Indonesia, misalnya produk paling besar itu di dunia seperti elektronik, elektrik dan otomotif.

Otomotif kita ini lumayan, tetapi elektroniknya itu belum. Itu yang akan kita dorong dan itu namanya transformasi," terangnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini