Laporan Wartawan Tribunnews, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, LONDON – Mata uang rubel Rusia turun ke level terendah terhadap dolar AS dalam 17 bulan terakhir, menyoroti tekanan yang meningkat pada ekonomi Rusia dari sanksi Barat.
Mata uang rubel juga telah kehilangan hampir 40 persen nilainya tahun ini, melemah melewati 100 rubel terhadap dolar, karena perang Moskow di Ukraina memakan banyak korban.
Jatuhnya nilai rubel adalah salah satu dari beberapa indikator negatif bagi ekonomi Rusia, bahkan ketika Presiden Vladimir Putin menegaskan bahwa sanksi Barat memiliki efek yang terbatas.
Selain itu, sanksi Barat juga menekan investasi asing di negara itu dan menjatuhkan ekspor.
“Penurunan ekspor, dikombinasikan dengan lonjakan impor yang didorong oleh permintaan domestik yang kuat, telah membuat rubel semakin murah,” kata Elvira Nabiullina, gubernur bank sentral Rusia dalam sebuah pernyataan, Senin (14/8/2023).
Dia lebih lanjut mengatakan permintaan pemerintah yang meningkat dan tingkat pinjaman yang tinggi oleh bank-bank Rusia telah mendorong keseluruhan aktivitas dalam perekonomian, memberikan tekanan ke atas pada inflasi dan berkontribusi pada pelemahan mata uang rubel.
Lantas, hal itu membuat Nabiullina berencana menaikkan suku bunga untuk mengendalikan kenaikan harga. "Bank sentral Rusia mengakui kemungkinan menaikkan suku bunga utama dalam pertemuan mendatang,” katanya.
Penasihat ekonomi Putin, Maxim Oreshkin justru menyalahkan bank sentral atas depresiasi mata uang dan mengakui mata uang rubel yang lemah berdampak buruk bagi perekonomian Rusia.
Baca juga: Bank Sentral Rusia Uji Transaksi Rubel Digital, Libatkan 13 Bank
“Alasan utama melemahnya rubel dan percepatan inflasi adalah kebijakan moneter yang longgar,” tulisnya dalam sebuah artikel untuk kantor media pemerintah Rusia TASS yang diterbitkan Senin, (14/8/2023).
“Rubel yang lemah memperumit restrukturisasi ekonomi dan berdampak negatif pada pendapatan riil penduduk," pungkasnya.