Laporan Wartawan Tribunnews, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, MOSKWA – Bank sentral Rusia mengumumkan kenaikan suku bunga utamanya sebesar 3,5 poin persentase menjadi 12 persen pada Selasa (15/8/2023) usai mata uang rubel mencapai level terendah dalam kurun waktu 17 bulan.
Mata uang rubel kemudian menguat menjadi 98 terhadap dolar AS setelah pengumuman tersebut.
"Pertumbuhan yang stabil dalam permintaan domestik yang melampaui kapasitas untuk memperluas output memperkuat tekanan inflasi yang mendasarinya dan berdampak pada dinamika nilai tukar rubel," kata bank sentral itu.
Sejauh ini, mata uang rubel tercatat telah kehilangan 35 persen nilainya karena perang Moskow di Ukraina memakan banyak korban.
Jatuhnya nilai rubel juga merupakan salah satu dari beberapa indikator negatif bagi ekonomi Rusia, bahkan ketika Presiden Vladimir Putin menegaskan bahwa sanksi Barat memiliki efek yang terbatas.
Sanksi Barat diklaim juga telah menekan investasi asing di negara itu dan menjatuhkan ekspor.
“Penurunan ekspor, dikombinasikan dengan lonjakan impor yang didorong oleh permintaan domestik yang kuat, telah membuat rubel semakin murah,” kata Elvira Nabiullina, gubernur bank sentral Rusia dalam sebuah pernyataan, Senin (14/8/2023).
Baca juga: Bank Sentral Rusia Uji Transaksi Rubel Digital, Libatkan 13 Bank
Sementara itu, penasihat ekonomi Putin, Maxim Oreshkin justru menyalahkan bank sentral atas depresiasi mata uang dan mengakui mata uang rubel yang lemah berdampak buruk bagi perekonomian Rusia.
Baca juga: Rubel Rusia Merosot ke Level Terendah, Terdampak Perang Ukraina
“Alasan utama melemahnya rubel dan percepatan inflasi adalah kebijakan moneter yang longgar,” tulisnya dalam sebuah artikel untuk kantor media pemerintah Rusia TASS.
“Rubel yang lemah akan mempersulit restrukturisasi ekonomi dan berdampak negatif pada pendapatan riil penduduk,” pungkasnya.