Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Ketut Rajin (57) dan istrinya Made Endang Erawati merintis usaha pertenunan sejak 2002 hingga kini dapat memberdayakan ekonomi masyarakat.
Lebih dari 20 tahun berjalan, Artha Dharma masih eksis tanpa sang istri yang telah berpulang setahun lalu.
UMKM binaan PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna) kerap memamerkan berbagai produknya dalam gelaran pameran nasional maupun internasional.
Baca juga: Daftar Produk UMKM Binaan PNM di China ASEAN EXPO 2023: Batik Laweyan Solo hingga Kain Tenun Kombu
Ketut menyebut, Artha Dharma merupakan upayanya meneruskan warisan leluhur, berupa budaya menenun yang sudah berlangsung turun-temurun.
Tak ingin budaya menenun punah, inilah alasan Ketut merintis pusat pelatihan dan pengembangan tenun Artha Dharma di Desa Sinabun, Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali.
“Saat itu, melihat kondisinya, pertenunan di sini sudah mau punah. Jadi, saya berpikir bagaimana melestarikan budaya menenun supaya tidak punah,” kata Ketut dalam keterangan, Senin (13/11/2023).
Ia pun mulai membangun pusat pelatihan dan pengembangan tenun dengan memberikan pelatihan menenun kepada penduduk di Desa Sinabun.
Mereka di antaranya terdiri dari para ibu rumah tangga dan anak muda putus sekolah yang belum memiliki pekerjaan. Ratusan orang telah dibekali keterampilan menenun di Artha Dharma.
Artha Dharma tak hanya memberikan pelatihan terkait menenun, tetapi juga memproduksi berbagai produk tenun.
Pertenunan Artha Dharma memproduksi kain tradisional Bali berupa kain endek dan kain songket dengan alat tenun konvensional. Tujuannya untuk melestarikan budaya agar langgeng.
Baca juga: Program Pemberdayaan Tenun Sasar Perajin dari Pedalaman NTT
Menurut Ketut, usahanya ini melibatkan para penenun yang tersebar di sekitar lokasi workshop. Sementara, yang terpusat dan terlibat dalam produksi Artha Dharma dari hulu ke hilir ada sekitar 30 orang.
Proses produksi di Artha Dharma berlangsung dari pengolahan bahan mentah hingga berwujud produk jadi. Ketut menjelaskan, ulat sutera yang menjadi sumber utama kain tenun dibudidaya secara mandiri.
“Mulai dari budidaya ulat sutera, penetasan telur, kami rawat, kasih makan, kurang lebih selama 28 hari untuk dapat cocoon. Cocoon ini kemudian dipintal jadi benang untuk diolah menjadi tenun maupun songket dari sutera alam,” papar Ketut.
Pewarnaan yang digunakan pun beragam. Namun, mayoritas produk tenun Artha Dharma menggunakan pewarna alam dari aneka tumbuhan.
Ketut mengungkapkan, sejak kecil ia terbiasa melihat orangtua, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya menenun.
Bahkan, orang dulu, kata Ketut, harus bisa menenun jika ingin memiliki dan memakai kain tenun.
“Dulu, zaman ibu saya, dipaksa menanam tanaman kapas. Mereka harus bisa menenun. Ibu saya, kalau tidak bisa menenun, tidak boleh pakai kain. Karena sering melihat itu, saya jadi terbiasa, dan belajar soal tenun,” kata Ketut.
Dari sinilah asal muasal kecintaan Ketut terhadap tenun dan menjadi alasan Ketut mendirikan pusat pelatihan dan pengembangan tenun Artha Dharma.
Ia menjelaskan, misi pertamanya adalah melestarikan budaya menenun sebagai budaya Bali.
“Menenun jadi budaya di Bali karena ada kaitannya dengan upacara adar. Kain yang dihasilkan banyak untuk upacara adat, misalnya Ngaben, atau upacara lainnya yang banyak memakai tenun Bali,” ujar Ketut.
Misi kedua, meningkatkan perekonomian warga melalui tenun. Ia menyebutkan, dengan lestarinya pertenunan, banyak orang yang mendapatkan kesempatan menjadi penenun, dan berdaya secara ekonomi.