TRIBUNNEWS.COM - Sebuah survei global menunjukkan semakin besarnya pengakuan negara-negara Eropa Barat terhadap kekuatan ekonomi dan militer China.
Ada ketakutan mendasar bahwa kebangkitan China akan menguras keunggulan yang dimiliki negara-negara Barat selama berabad-abad.
Namun kehebatan China tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan China dalam soft power sebagaimana soft power yang dimiliki Amerika Serikat.
Hal ini lebih menimbulkan rasa takut negara-negara Eropa Barat terhadap China ketimbang rasa hormat kepada negeri itu.
Analis politik Timur Fomenko, dikutip Russian Today membeberkan hasil riset Pew Research Center terhadap 24 negara mengenai pendapat mereka terhadap AS dan Tiongkok.
Survei-survei ini merupakan kegiatan rutin dan berguna untuk memantau perubahan opini publik terkait persaingan geopolitik antara kedua negara.
Cakupan negara yang disurvei mencakup hampir semua negara di Eropa atau sekutu Amerika, kecuali Nigeria, Kenya, Afrika Selatan, dan beberapa negara di Amerika Latin.
Pemilihan negara-negara tersebut sebagian besar memberikan pandangan negatif terhadap China dan persepsi positif terhadap Amerika Serikat.
Salah satunya karena pengaruh AS terhadap negara-negara tersebut.
Namun, survei khusus ini lebih dari sekedar ‘setuju/tidak setuju’ dan mengeksplorasi topik-topik seperti siapa yang dianggap sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia, siapa yang memiliki militer terkuat, dan siapa yang memiliki barang-barang teknologi terbaik.
Banyak negara Eropa Barat semakin memandang Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi dan teknologi yang lebih besar dibandingkan Amerika Serikat dan hampir setara dalam hal militer.
Salah satu tantangan bagi China yang sangat disoroti oleh survei ini adalah bahwa China masih tertinggal dibandingkan Amerika Serikat dalam hal soft power dan pengaruh budaya.
Baca juga: Ikuti Amerika, Kanada Blokir Semua Teknologi Berasal dari China
Amerika Serikat dinilai masih memiliki popularitas global yang lebih besar dibandingkan China termasuk di negara-negara yang mendukung China sendiri, karena AS mempunyai monopoli atas lanskap budaya dan informasi global.
Di semua negara di seluruh dunia, apa pun orientasi politiknya, sudah menjadi kenyataan bahwa bahasa Inggris adalah bahasa kedua yang harus dipelajari, jika bahasa tersebut belum menjadi bahasa nasional resmi.