TRIBUNNEWS.COM - Simposium Peluang dan Tantangan Pembangkit Listrik Tenaga Air secara khusus menyinggung soal sistem dan kerja PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Pakar Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Mahawan Karuniasa, satu di antara pembicara di simposium tersebut, menyebut kalau secara desainnya memiliki kelebihan dalam aspek kelestarian ekosistem hutan.
Namun, kata dia, PLTA ini perlu beradaptasi terhadap cuaca ekstrem kering, untuk menjaga ekosistem sungai tetap terjaga karena sebagian airnya diarahkan melewati waterway bawah tanah untuk digunakan PLTA.
"Energi bersih dibutuhkan, termasuk PLTA, namun perlu beradaptasi dengan perubahan iklim dan menjaga kelestarian ekosistem disekitarnya. Dan perlu saya sampaikan, PLTA Batang Taro menggunakan sistem water waste sehingga tidak merusak lingkungan," ujarnya dalam Simposium Peluang dan Tantangan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Indonesia di UI Kampus Salemba, Kamis (23/11/2023).
Baca juga: Dorong Energi Bersih, Pakar Ingatkan Pemerintah Perjelas Pendanaan PLTA Batang Taru
Mahawan menyinggung soal PLTA yang saat ini sedang dibangun dengan beban puncak 510 MW itu saat mendorong semua pihak mengetahui dan memahami dampak pemanasan global telah menembus 2° Celsius, sesuai informasi EU’s Copernicus Climate Change Service (C3S), padahal batas aman Paris Agreement adalah 1,5° Celsius.
"Dampak dari kenaikan suhu permukaan bumi tentu akan semakin berat, sehingga dalam urusan energi bersih seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) perlu mewaspadai perkembangan ini," kata Mahawan.
Mahawan menyatakan, banyak ilmuwan yang cukup kaget dengan perkembangan yang disampaikan tim Copernicus, meskipun angka tersebut bersifat temporer yang telah terjadi pada tanggal 17 dan 18 November 2023, namun dapat dijadikan tanda-tanda kenaikan pemanasan global yang lebih cepat dari perkiraan.
"Beberapa pihak juga menyampaikan kalau tahun 2023 sampai dengan saat ini diduga akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah. Tentu ini harus kita antisipasi. Salah satunya dengan Payment Enviromental Services, ini adalah model pembangunan PLTA Ramah Lingkungan," tutur Mahawan.
Integrasi Konservasi Hutan
Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Rahmawati yang hadir dalam Simposium menyoroti perlunya integrasi konservasi hutan dan Pembangunan PLTA, termasuk pentingnya pembayaran jasa lingkungan untuk menjaga kelestarian flora fauna di sekitarnya.
Menurut Rahmawati, air sangat penting untuk mendukung pengadaan energi ramah lingkungan. Dengan catatan selalu melibatkan masyarakat, supaya terhindar dari konflik sosial di kemudian hari.
"Di satu sisi kawasan hutan harus dijaga namun, keberadaan air sebagai sumber energi bersih harus dilakukan. Hal ini bisa dijembatani dengan kolaborasi dan integritas multipihak mulai masyarakat, pegiat lingkungan dan juga industri supaya manafatnya bisa di elaborasi tanpa membuat kerusakan kawasan hutan," ungkapnya.
Sementara itu, Rektor Institut Teknologi PLN, Iwa Garniwa menggarisbawahi perlunya pertimbangan supply-chain dan keekonomian dalam integrasi berbagai alterternatif pembangkit listrik berbasis energi bersih.
"Dalam agenda transisi energi Indonesia, hydropower menjadi salah satu alternatif yang dikembangkan di Indonesia sesuai dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) selain dari sumber energi angin, surya, biomassa, dan panas bumi maupun potensi sumber lainnya," kata Iwa.
Simposium tersebut digagas oleh Environment Institute (ENVIRO) bekerjasama dengan Sekolah Ilmu Lingkungan UI tersebut, Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) serta Ikatan Alumni Sekolah Ilmu Lingkungan UI (ILUNI SIL UI).