News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Aturan Terbaru Amortisasi Perpajakan Terbit, Perhatikan Dampaknya

Penulis: Sanusi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi. Pemerintah telah memperbaharui regulasi terkait perhitungan penyusutan untuk aset berwujud (depresiasi) dan aset tak berwujud (amortisasi). Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2023. PMK Nomor 72 Tahun 2023 ini adalah turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah telah memperbaharui regulasi terkait perhitungan penyusutan untuk aset berwujud (depresiasi) dan aset tak berwujud (amortisasi).

Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2023. PMK Nomor 72 Tahun 2023 ini adalah turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.

Dalam webinar bertajuk Implementation of PMK No. 72 Year 2023 and The Accounting Impact yang diselenggarakan oleh RSM Indonesia, Partner Tax RSM Indonesia Sylvia Anggraeni menjelaskan setidaknya terdapat 6 pokok penting yang ada dalam PMK Nomor 72 Tahun 2023.

Baca juga: Beri Kemudahan bagi Wajib Pajak, Kemenkeu Siap Lakukan Reformasi Perpajakan dengan Implementasi CTAS

“Dengan diterbitkannya PMK Nomor 72 tahun 2023, perlu diperhatikan 6 pokok-pokok peraturan berikut, pertama, penyusutan bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 tahun, kedua, penyusutan atas biaya perbaikan harta berwujud, ketiga, penggantian asuransi, keempat, amortisasi harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 tahun, kelima, amortisasi perangkat lunak, dan keenam, penyusutan dan amortisasi harta dalam bidang usaha tertentu,” jelas Sylvia, Jumat (15/12/2023).

Adapun atas beberapa pokok aturan ini, Partner Audit RSM Indonesia Dewi Novita Sari mengatakan bahwa perlu diperhatikan implikasi pajak dan akuntansinya.

Dewi Novita mengatakan, sebagaimana diketahui dalam PMK 72 Tahun 2023 terbaru ini, jika perusahaan sebagai Wajib Pajak memiliki bangunan permanen dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun, maka perusahaan saat ini diberikan pilihan untuk melakukan penyusutan selama 20 tahun atau menyesuaikan dengan masa manfaat sebenarnya berdasarkan catatan akuntansi wajib pajak.

"Jika perusahaan mengambil opsi untuk menyesuaikan, maka dampak akuntansi yang perlu diperhatikan adalah pertama, nilai pajak tangguhan akan disesuaikan mengikuti perbedaan antara nilai tercatat komersial dan fiskal dan kedua, jika terdapat pembetulan pajak yang menyebabkan perbedaan nilai pajak badan periode sebelumnya, maka penyesuaian akan langsung dibukukan pada bagian pajak, bagian item “penyesuaian”, jelas Dewi.

Sebagai catatan, dalam hal Wajib Pajak (WP) memilih untuk melakukan penyusutan dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan WP, maka WP dapat menyampaikan pemberitahuan paling lambat 30 April 2024 untuk bangunan permanen yang dimiliki dan digunakan sebelum tahun Pajak 2022 dan bangunan permanen yang disusutkan sesuai masa manfaat 20 tahun.

Sementara itu untuk aturan amortisasi barang tak berwujud, Slyvia menjelaskan bahwa terdapat kesamaan dengan bangunan permanen.

“Sama halnya dengan bangunan permanen, terkait amortisasi barang tak berwujud dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun WP juga bisa memilih penyusutan dengan masa manfaat 20 tahun, atau penyusutan sesuai masa manfaat sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak,” ujar Sylvia.

“Adapun implikasi secara akuntansinya pun sama dengan dampak akuntansi atas penyusutan bangunan permanen yang telah saya jelaskan sebelumnya,” ungkap Dewi.

Selanjutnya, terkait biaya perbaikan harta berwujud, Sylvia menjelaskan bahwa perbaikan yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun ditambahkan pada Nilai Sisa Buku (NSB) fiskal dan dibebankan melalui penyusutan. Lalu untuk pemeliharaan rutin yang dilakukan 1 kali atau lebih dalam setiap tahun, bukan kategori biaya perbaikan yang dapat dikapitalisasi.

Dari kacamata akuntansinya, Dewi memberikan penjelasan tambahan bahwa sesuai standar akuntansi untuk aset berwujud sebenarnya sudah diatur dalam PSAK 16.

“Dalam PSAK 16 ini istilahnya adalah biaya selanjutnya. Jadi ada perolehan awal dan biaya selanjutnya. Definisi biaya perbaikan yang dikapitalisasi atau bukan ini sebenarnya definisinya tidak berbeda dengan yang diatur di PSAK. Jadi nanti bisa refer ke paragraf 12 dan ke 13 sepanjang memenuhi syarat. Di PSAK sendiri dijelaskan bahwa apabila ada biaya-biaya yang dikeluarkan setelah perolehan awal suatu aset, itu nanti akan dianalisis. Apakah ini biayanya rutin atau maintenance, atau mungkin bisa menambah kapasitas dan menambah umur. Apabila kriterianya terpenuhi, biaya tersebut nanti akan dikapitalisasi,” jelas Dewi.

“Dampaknya secara akuntansi, jika sifatnya replacement, maka nilai tercatat aset sebelumnya dibebankan langsung ke Laba Rugi. Namun jika bukan penggantian, maka akan menambah nilai tercatat aset sebelumnya dan dikapitalisasi sesuai masa manfaat aset tersebut. Dalam standar akuntansi, atas perbaikan yang sifatnya penggantian, maka nilai tercatat sebelumnya harus dibebankan sehingga tidak double cost,” lanjutnya.

Selain terkait penyusutan dan amortisasi, dalam webinar RSM Indonesia ini juga dijelaskan terkait pokok peraturan penggantian asuransi. Adapun implikasi penggantian asuransi yang perlu diperhatikan adalah pertama, nilai aset tercatat dihentikan dan kerugian yang timbul atas penghentian tersebut masuk ke dalam laba rugi berjalan. Kedua, terdapat pengakuan penghasilan dari klaim asuransi laba rugi, jika syarat sudah terpenuhi.

“Bisa disimpulkan, bahwa atas terbitnya PMK Nomor 72 Tahun 2023 ini, perusahaan sebagai WP perlu untuk memperhatikan beberapa hal di antaranya, penelaahan atas perubahan perhitungan PPh Badan untuk tahun pajak 2022 apabila WP memilih penyusutan bangunan permanen dan barang tak berwujud kelompok IV serta implikasi akuntansinya, kemudian penelaahan implikasi biaya perbaikan yang menambah masa manfaat, dan juga penelahaan implikasi untuk saat pengakuan penggantian asuransi,” tutur Sylvia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini