TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT PGN Tbk (PGAS) dinilai perlu mengambil langkah-langkah strategis proaktif menangani masalah terkait kerjasama dengan Gunvor Ltd Singapore sebagai upaya menjaga integritas bisnis liquefied natural gas (LNG) dan kepercayaan pemegang saham.
Direksi yang baru terpilih melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) harus cermat bekerja mengatasi dampak buruk yang akan timbul. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin menjadi blunder terbesar sepanjang sejarah PGN, karena potensi kerugian bernilai fantastis yang dapat mencapai sekitar Rp20 triliun.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, Minggu (17/12/2023) dalam keterangannya kepada wartawan.
Baca juga: Pendapatan Bisnis Non Gas Bumi Naik 88 Persen, Kontribusi ke Pendapatan PGN Mencapai Rp 813 Miliar
"Penandatanganan MSPA (Master Sales Purchase Agreement) dan CN (Confirmation Note) untuk supply LNG ke Gunvor dilakukan tanpa adanya kontrak pasokan LNG ke PGN, belakangan diketahui portofolio LNG yang dijual PGN berasal dari kontrak Pertamina dengan Woodside Ltd Australia. Ini membuktikan profesionalitas Direksi PGN waktu itu memang jauh panggang dari api," ungkap Yusri.
Yusri melanjutkan, pemegang saham pada RUPS telah menunjuk Direksi baru yang profesional dengan meminimalisasi kerugian sekaligus mengamankan direksi sebelumnya dari tuntutan hukum di kemudian hari.
Menurut Yusri, di awal penugasan memang tampak sekali keyakinan tinggi investor pada manajemen baru tersebut dalam menyelesaikan kasus Gunvor. Terbukti, harga saham PGAS waktu itu sempat naik ke level Rp1.500 per lembar saham.
"Namun, semakin hari kepercayaan itu semakin tipis seiring dengan turunnya kinerja PGAS. Sahamnya ambruk mendekati level Rp1.000 per saham dan dikhawatirkan akan semakin anjlok pada hari-hari ke depan," kata Yusri.
Saat ini, lanjut Yusri, para investor masih 'wait and see' terkait kerja sama PGAS dengan Gunvor ini.
"Pastinya, keyakinan dan harapan yang tinggi yang diletakan pada manajemen baru hari ini sudah tidak berbekas lagi," timpal Yusri.
Di tengah kekhawatiran atas kegagalan bisnis LNG PGN ini, kata Yusri, Direksi PT Bursa Efek Indonesia, telah berkali-kali meminta penjelasan para Direksi PGN terkait hal tersebut.
Baca juga: PGN Rombak Jajaran Direksi dan Komisaris, Arcandra Tahar Tak Lagi Masuk Formasi
Nampaknya kata Yusri, bursa mencurigai adanya informasi ditahan oleh PGN yang diperhitungkan dapat melemahkan kinerja PGAS dan bahkan mungkin bisa menarik turun kinerja IHSG serta kepercayaan investor bursa pada emiten di IDX.
"Setelah beberapa kali tidak puas atas jawaban tertulis PGN, akhirnya IDX mengadakan hearing atau dengar pendapat dengan PGAS pada hari Rabu 13 Desember 2023 kemarin," kata Yusri.
Umumkan force majeure
Dikutip dari Kontan, PT PGAS mengumumkan kondisi force majeure alias kahar terkait pelaksanaan master liquified natural gas (LNG) sale and purchase agreement dan confirmation notice (CN) dengan Gunvor Singapore Ltd selaku pembeli.
Kondisi kahar ini terjadi pada 3 November 2023. PGAS menyampaikan pemberitahuan force majeure kepada pembeli terkait pelaksanaan confirmation notice.
Emiten pelat merah ini memperkirakan kondisi kahar tersebut tidak kurang dari beberapa bulan pada tahun 2024.
“Pada saat pelaporan, belum terdapat dampak atas kejadian, informasi, atau fakta material tersebut terhadap kegiatan operasional, hukum, dan kondisi keuangan PGAS,” tulis Sekretaris Perusahaan PGAS Rachmat Hutama dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Selasa (7/11).
Melansir laporan keuangan PGAS per akhir kuartal III-2023, diketahui pada tahun 2022 PGAS menandatangani komitmen kontrak pembelian LNG jangka Panjang salah satunya dengan Gunvor Singapore Pte Ltd. Perjanjian jual beli ini berjangka waktu 2024 hingga 2027.