TRIBUNNEWS.COM - Dalam upaya melaksanakan pembangunan berkelanjutan, sejak tahun 2018, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerbitkan Green Sukuk ritel di pasar global dengan total nilai mencapai USD 6 miliar.
Di pasar domestik, pemerintah juga menerbitkan Green Sukuk ritel pertama di dunia.
Green Sukuk ritel ini dijual secara online kepada investor individual dengan total penerbitan rentang 2019-2023 mencapai Rp 25,2 triliun.
Baca juga: Beli Sukuk Ritel SR019 Jadi Pilihan Investasi yang Menguntungkan
Di samping itu, pemerintah juga menerbitkan Green Sukuk melalui lelang dengan seri PBSG001 sejak 2022 dengan total hingga kini mencapai Rp 20,4 triliun.
Direktur Pembiayaan Syariah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) Kemenkeu, Dwi Irianti menjelaskan, penerbitan Green Sukuk ini ditujukan untuk mendukung proyek-proyek hijau.
"Green Sukuk hanya akan mendanai proyek dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Bisa dikatakan ini menjadi salah satu bentuk inovasi pendanaan yang ramah lingkungan," jelasnya.
Setidaknya ada lima sektor yang dibiayai melalui Green Sukuk, diantaranya transportasi berkelanjutan, energi terbarukan, pengelolaan limbah untuk energi dan lainnya, pertanian berkelanjutan, dan ketahanan terhadap perubahan iklim untuk daerah yang sangat rentan terhadap fenomena tersebut.
Menurut laporan Kementerian Keuangan bertajuk "2023 Green Sukuk Allocation and Impact Report", sektor transportasi berkelanjutan menempati posisi pertama pembiayaan dari Green Sukuk antara tahun 2018-2022, yaitu mencapai 32,39 persen.
Baca juga: Luncurkan Obligasi dan Sukuk, Pegadaian Targetkan Dana Rp2 Triliun
"Salah satu contoh proyek yang dibiayai adalah Kereta Rel Listrik (KRL) Manggarai Jakarta Selatan, dan pembangunan Light Rail Transit (LRT), Palembang, Sumatera Selatan," terang Dwi Irianti.
Selanjutnya, pembiayaan Green Sukuk banyak disalurkan pada sektor ketahanan pangan dan iklim sebanyak 28,09 persen.
Lalu, diikuti oleh sektor pengelolaan air atau limbah berkelanjutan sebesar 25 persen.
Sementara, sektor energi terbarukan 4,92 persen, efisiensi energi 4,8 persen, sampah menjadi energi dan pengelolaan sampah 4,58 persen.
"Untuk hal ini kita bisa lihat pada proyek pengolahan sampah Piyungan di Yogyakarta, proyek panel surya di Kepulauan Selayar, Sulsel, dan proyek perlindungan pantai Taluda, Bone Bolango, Gorontalo. Itu sebagian contohnya," kata Dwi Irianti.
Green Sukuk merupakan instrumen pendanaan syariah yang digunakan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Hal ini merupakan salah satu terobosan pembiayaan hijau di Indonesia, mengingat instrumen ini menjadi yang pertama diterbitkan di dunia.
Ke depan, Irianti menyatakan akan semakin menggalakkan edukasi tentang Green Sukuk ke masyarakat. Salah satu tujuannya supaya publik semakin mengenal, dan turut serta dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ini.
"Saya berharap makin banyak masyarakat yang berpartisipasi, dan menjadikan Green Sukuk ini sebagai alat yang efektif untuk pembangunan berkelanjutan di Indonesia," pungkasnya.