Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyebut, program transisi energi presiden Joko Widodo dinilai berjalan lambat.
Program untuk mengalihkan pemakaian energi fosil ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, belum mencapai target saat awal ditetapkan.
"Target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 sulit dicapai lantaran pada akhir 2023 masih mencapai 12,8 persen," ungkap Fahmy dalam pernyataan yang diperoleh Tribunnews, Senin (15/1/2024).
"Target pada 2030 sebesar 44 persen tampaknya masih jauh panggang dari api," sambungnya.
Ia melanjutkan, PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sesungguhnya sudah melakukan berbagai upaya, namun hasilnya masih sangat minim, bahkan beberapa upaya tersebut mengalami kegagalan.
Sejak berapa tahun lalu Pertamina sudah mengusahakan bio-diesel, yang merupakan percampuran solar dengan minyak sawit.
Dimuilai dengan B-20 meningkat ke B-35, naik menjadi B-40 lalu berhenti lantaran Eni, partner usaha dari Italia, menghentikan kerjasama dengan Pertamina.
Pengembangan bio-diesel selain tidak dapat dicapai, program EBT berbasis sawit juga berpotensi bertabrakan dengan program pangan untuk menghasilkan minyak goreng.
Demikian juga dengan program gasifikasi Pertamina, yang mengolah batu bara menjadi gas, juga mengalami kegagalan setelah partner usaha dari Amerika Serikat hengkang dari Indonesia.
Baca juga: Anies Ingatkan Program Transisi Energi Terbarukan Harus Pikirkan Nasib Pekerja Tambang
Berbeda dengan Pertamina, Program PLN dalam pengembangan EBT relatif berhasil.
PLN telah menyelesaikan 28 pembangkit EBT baru. Program itu di antaranya seperti program dedieselisasi dengan pembangunan jaringan transmisi dan jaringan distribusi hingga pengembangan hidrogen hijau pada tahun 2023.
Salah satu upaya transisi energi yang paling fenomenal yakni diresmikannya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata dengan kapasitas 192 megawatt peak (MWp).
Baca juga: Jokowi Sebut Transisi Energi Bagi Negara Berkembang Terkendala Transfer Teknologi dan Pendanaan
Namun, program pensiun dini PLTU batu bara belum diselesaikan lantaran kesulitan penyediaan dana.
Untuk itu, program transisi energi akan menjadi pekerjaan rumah alias PR untuk Presiden atau Pemerintahan selanjutnya.
"Kendati program transisi energi Jokowi masih jalan di tempat, siapa pun presiden terpilih yang menggantikan Jokowi, harus melanjutkan dan mengaselerasi program transisi energi," papar Fahmy.
"Target yang harus dicapai dalam program transisi energi itu adalah pencapaian Net-Zero Emission pad 2060,"