Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Senior INDEF Dradjad Wibowo menjelaskan pengertian greenflation yang diutarakan calon wakil presiden 02 Gibran Rakabuming Raka dalam debat keempat pilpres 2024.
“Greenflation bukan sebuah istilah jebakan dalam debat, apalagi sebuah konsep receh-receh,” kata Dradjad dalam pernyataannya, Senin (22/1/2024).
Menurutnya, pandangan terhadap greenflation yang seperti itu menunjukkan ketidakpahaman terhadap transisi ke ekonomi hijau, termasuk ke energi bersih dan penerapan praktek kelestarian.
Baca juga: Ketua TPN Ganjar-Mahfud Bilang Debat Cawapres Sangat Dinamik dan Asyik
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) itu mengatakan greenflation menjadi tantangan dan hambatan yg membuat transisi tersebut sangat lambat di dunia.
Greenflation adalah istilah jaman now yang makin sering dipakai ilmuwan, pegiat, pebisnis bahkan politisi yang terlibat dalam urusan kelestarian atau keberlanjutan (sustainability).
“Dipakai mereka yang terlibat dalam urusan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” katanya.
Secara sederhana, greenflation atau inflasi hijau merujuk pada kenaikan harga sebagai akibat dari mahalnya biaya transisi di atas.
Dengan kata lain, inflasi hijau merupakan salah satu bentuk cost-push inflation.
Sebagai contoh, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat.
Potensi panas bumi kita setara 23.966 megawatt (MW).
Baca juga: Gibran Sorot Catatan Cak Imin saat Debat: Enak Ya Gus, Baca Catatan
Saat ini kita baru memanfaatkan 2.343 MW, atau hanya sekitar 9,8 persen dari potensi tersebut.
Hambatan terbesarnya adalah biaya.
Beban biaya PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) per kilowatt hour (kwh) itu sekitar 50 persen lebih mahal dari PLTU batu bara. Bahkan dalam berbagai estimasi lainnya, biayanya bisa dua kali lipat lebih.
Anggap Indonesia melakukan pensiun dini terhadap semua PLTU batu bara, dan menggantinya ke PLTP.
Dalam kondisi biaya saat ini, biaya listrik nasional akan naik minimal 50 persen karena hampir semua aktifitas memerlukan listrik, bisa dibayangkan seberapa besar dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Harga-harga melonjak drastis. Hampir semua pelaku bisnis dipastikan menjerit. Bukan hanya itu, rakyat bisa marah. Itu semua akibat greenflation,” urainya.
Contoh lain, banyak negara sekarang menerapkan standar kelestarian yang ketat bagi dunia usaha.
Biaya pemenuhan standar ini juga cukup mahal dan menimbulkan inflasi hijau.
Demikian juga dengan pajak karbon dan berbagai inisiatif lainnya.
“Jadi, inflasi hijau itu tempatnya di jantung dari topik kelestarian, transisi ke ekonomi hijau, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” tutur Dradjad.
“Sebuah tantangan yang harus dicarikan solusinya segera karena transisi di atas adalah keniscayaan. Bukan sebuah istilah receh-receh,” imbuhnya.