Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
PMK yang berlaku mulai 29 Desember 2023 ini merupakan peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Praktisi perpajakan, Muhamad Noprianto mengatakan, PMK-172 yang mengatur mengenai penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU), Mutual Agreement Procedure (MAP), dan Advance Pricing Agreement (APA) ini merupakan respons strategis terhadap amandemen terbaru dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Undang-Undang Perpajakan (KUP).
Baca juga: Soal Pajak Hiburan, Airlangga Tegaskan Lagi Ketentuan dalam UU HKPD dan SE Mendagri
“PMK Nomor 172 Tahun 2023 ini sangat menarik karena merupakan ketentuan yang bersifat omnibus yang menggabungkan berbagai ketentuan terkait transfer pricing, MAP, APA, termasuk memberikan klarifikasi dan menyempurnakan ketentuan yang lama dan khusus untuk penyelenggaraan TP-Doc (Transfer Pricing Documentation), Wajib Pajak harus menerapkan ketentuan dalam PMK ini untuk tahun pajak 2024,” jelas Nopri dalam keterangannya, Sabtu (27/1/2024).
Senior Manager TaxPrime memerinci perubahan dan penyempurnaan dalam PMK Nomor 172 Tahun 2023, yaitu terkait hubungan istimewa sehingga Wajib Pajak perlu sangat memerhatikan aspek hubungan istimewa sebagai pintu masuk (entry point) atas kewajiban dalam melakukan penetapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PPKU).
“Terdapat penegasan bahwa ex-ante harus digunakan dalam menerapkan PKKU. Pendekatan ex-ante merupakan pendekatan penetapan harga transfer yang dilakukan untuk menerapkan PKKU pada saat sebelum/saat transaksi dilakukan (price-setting approach),” jelas Nopri.
Kemudian, penegasan atas preferensi pendekatan segregasi serta terdapat beberapa perubahan terkait tahapan pendahuluan dalam PKKU dan ini seirama dengan OECD Transfer Pricing Guidelines chapter 6-10.
“Hal yang menarik di sini adalah tambahan adanya perubahan dalam tahapan pendahuluan berupa tambahan atas transaksi tertentu, yakni transaksi keuangan lainnya. Hal ini searah dengan perubahan dalam OECD Transfer Pricing Guidelines tahun 2022, yaitu penambahan chapter 10—financial transaction,” jelas Nopri.
Selanjutnya hal yang patut diapresiasi adalah penambahan penjelasan yang lebih detail dalam aturan PMK Nomor 172 Tahun 2023 terkait analisis industri dan perluasan definisi manfaat ekonomis.
Ada pula perubahan terkait kesejajaran metode Comparable Uncontrolled Price (CUP) dan Comparable Uncontrolled Transaction (CUT) dalam penentuan harga transfer.
“Dalam PMK tersebut, juga ditegaskan kembali mengenai penggunaan metode valuasi bisnis dan aset. Wajib Pajak perlu memperhatikan penerapannya dengan mengacu pada PMK 79 tahun 2023 tentang Tata Cara Penilaian untuk Tujuan Perpajakan,” kata Nopri.
Dalam perspektif global, Partner/Senior Foreign Attorney Kee & Ko South Korea Stave Minhoo Kim mengapresiasi amandemen regulasi penetapan transfer pricing di Indonesia yang dituangkan dalam PMK Nomor 172 Tahun 2023.
Ia menganalisis, perubahan yang dilakukan Indonesia sangat komprehensif, khususnya terkait mekanisme Advance Pricing Agreement (APA).
“Masalah transfer pricing Indonesia bagi grup-grup usaha atau Wajib Pajak Korea yang sangat mencolok bagi saya, khusunya penerapan PKKU.
Saya mendapatkan kesan bahwa Pemerintah Indonesia berusaha menjaga relevansi ketentuan domestik dengan perkembangan OECD dengan menyelaraskan regulasi dan mempertimbangkan bahwa pemerintah sangat menekankan analisis industri dan tahapan penerapan PPKU untuk memberikan kepastian hukum,” ungkap Kim.