News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Respons Kemenparekraf Setelah Muncul Gugatan GIPI Soal Pajak Hiburan ke MK

Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Adyatama Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Ahli Utama Nia Niscaya.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) buka suara soal gugatan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menyoal tarif pajak hiburan ke Mahkamah Konstitusi.

Adyatama Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Ahli Utama Nia Niscaya mengatakan, langkah GIPI dalam hal gugatan itu sejalan dengan sikap Kemenparekraf.

"Bisa saya sampaikan, artinya kita bergerak ke sana," kata Nia kepada wartawan di Kemenparekraf, Senin (19/2/2024).

Nia menyebut bahwa gugatan GIPI terhadap pajak hiburan bahkan disinggung dalam rapat pimpinan (Rapim) yang digelar dilingkungan Kemenparekraf.

"Tadi juga di rapat pimpinan dilaporkan oleh Deputi yang terkait dan mba wamen juga mengingatkan untuk kita memonitor karena itu gitu, we are moving forward," jelasnya.

Sebelumnya, Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) resmi melakukan uji materiil atau judicial review Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasal yang digugat DPP GIPI yaitu Pasal 58 Ayat (2) terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Baca juga: Aturan Soal Pajak Hiburan Digugat ke MK, GIPI Imbau Para Pengusaha Pakai Tarif Lama

Harapan DPP GIPI dalam Pengujian Materil ini, Mahkamah Konstitusi dapat mencabut Pasal 58 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022.

Sehingga, penetapan Tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang termasuk dalam Jasa Kesenian dan Hiburan adalah sama, yaitu antara 0- 10 persen.

"Kami minta kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Pasal 58 Ayat 2," kata Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2024).

Dengan dicabutnya Pasal 58 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, Hariyadi mengatakan, tidak ada lagi diskriminasi penetapan besaran pajak dalam usaha Jasa Kesenian dan Hiburan.

Baca juga: Aturan Baru Soal Pajak Hiburan Digugat ke MK, GIPI Ajak Pengusaha Pakai Tarif Lama

"Ada 5 pasal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang kami nilai bertentangan dengan apa yang ada di dalam Pasal 58 Ayat 2 tersebut. Khususnya di sini adalah menyangkut masalah diskriminasi," ujar Hariyadi.

"Diskriminasi karena di dalam kategori yang 5 jenis usaha tadi, itu dibedakan dengan yang lain," lanjutnya.

DPP GIPI menganggap bahwa penetapan tarif pajak hiburan yang dimaksud pada Pasal 58 Ayat (2) sebesar 40 persen-75 persen dilakukan tanpa menggunakan prinsip-prinsip dasar yang seharusnya digunakan untuk mengambil Keputusan dalam membuat Undang-Undang yang menetapkan besaran tarif pajak.

Pemerintah yang memiliki kewenangan penuh dalam memberikan dan mencabut perizinan berusaha, justru dalam menetapkan Pasal 58 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 menggunakan besaran pajak dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap perizinan berusaha.

"Hal ini sudah tentu menjadi tidak tepat keputusannya karena berdampak diskriminasi terhadap pelaku usaha yang sudah menjalankan usahanya sesuai
peraturan dan perundangan yang berlaku," tutur Hariyadi.

Ia mengatakan, dampak penetapan pajak yang tinggi adalah usaha hiburan akan kehilangan konsumen.

Pajak tinggi juga dapat berakhir pada penutupan usaha serta banyaknya pekerja di sektor hiburan yang akan kehilangan lapangan kerja.

Di sisi lain, sektor pariwisata Indonesia yang tengah bangkit kembali setelah COVID-19, mendapat permasalahan baru dalam berkompetisi dan menciptakan daya saing pariwisata dengan negara lain yang justru pajak hiburannya jauh lebih rendah dari Indonesia.

"Bahkan, ada yang justru menurunkan tarif pajaknya demi menciptakan daya saing pariwisata untuk negaranya," tutur Hariyadi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini