Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI Kuseryansyah menyatakan, persoalan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) merupakan hal biasa terjadi di industri keuangan.
"Sebenarnya kalau gagal bayar itu semua financial institusi yang menjalankan lending itu biasa, hari-hari dengan ada gagal bayar," kata Kus dalam kunjungannya ke Menara Kompas, Rabu (21/2/2024).
"Jadi kalau kita menyalurkan pendanaan, pendanaan itu pasti ada yang terlambat bayar, bucket 1-30 hari 31-60 hari, 60-90 hari atau diatas 90 hari."
"Semua yang menyalurkan pendanaan pasti punya fenomena itu, orang yang terlambat bayar atau NPL," kata dia.
Seperti diketahui bisnis fintech peer to peer lending atau pinjaman online alias pinjol belakangan jadi sorotan luas karena banyaknya kasus gagal bayar.
Ada juga perusahaan pinjol yang gagal membayar janjinya kepada investor terkait return yang mereka bisa berikan kepada investor yang menempatkan modalnya ke pinjol tersebut.
Dia berpendapat industri keuangan baik itu perbankan, multifinance bahkan fintech lending memiliki perbedaan yang signifikan soal NPL.
Dia bilang, di industri perbankan maupun multifinance pemerintah menyediakan subsidi berupa restrukturisasi bagi nasabah contohnya pada saat pandemi Covid-19. Hal itu justru berbanding terbalik dengan fintech lending.
"Nah peer to peer lending ini enggak, jadi kalau ada user gagal bayar enggak ada subsidi dari pemerintah, yang kita minta adalah justru restrukturisasi dari lender," ungkapnya.
"Lender ada 3. Ada lender financial institusi atau dari perbankan atau dari multifinance, atau lender yang private institusional tapi bukan lembaga keuangan dan lender individual," sambungnya.
Di sisi lain, Kus juga menyebut bahwa perang Rusia dan Ukraina masih berdampak pada pendanaan sektoral yaitu pertanian hingga perikanan. Hal itu menjadi tanggungjawab daripada kreditur-kreditur yang mendanai sektor tersebut.
"Jadi kami melihat ini bagian konsekuensi logis dari sebuah dinamika ekonomi kita, dan ada beberapa temen kami yang kurang beruntung sehingga impact-nya dalam, ada juga yang tetap survive," jelasnya.
Mengutip Kontan, per Desember 2023 pinjaman yang diberikan perbankan melalui fintech P2P Lending telah mencapai Rp 30,35 triliun dari total pinjaman yang diberikan lender dalam negeri senilai Rp 49,3 triliun. Pinjaman dari perbankan tersebut meningkat 45,56 persen secara tahunan (YoY).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae tak menampik adanya bank yang tersangkut dengan masalah gagal bayar yang terjadi di fintech, salah satunya Investree. Namun, ia menilai jumlahnya tak banyak.
Terkait hal tersebut, dia bilang pihaknya secara tegas memberikan arahan terhadap perbankan untuk menghentikan pinjaman ke fintech-fintech tersebut. Setidaknya, hingga masalah fintech itu benar-benar beres.
“Kita sudah memerintahkan bank untuk menghentikan kerja sama sampai fintech itu mengubah bisnis prosesnya menjadi lebih prudent,” ujarnya, Selasa (20/2)
Ia berharap bank-bank ini bisa lebih selektif lagi dalam memilih pihak ketiga dalam menyalurkan kreditnya. Sehingga, itu tak akan menimbulkan masalah baru bagi perbankan itu sendiri.
Seperti diketahui, saat ini ada beberapa fintech P2P lending yang memang tengah mengalami gagal bayar. Setelah sebelumnya ada Investree, yang terbaru ada Modal Rakyat yang juga menerima gugatan atas dugaan gagal bayar terhadap lendernya.