Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, hulu migas Indonesia mempunyai potensi penyimpanan karbon yang sangat menjanjikan, yakni sebesar 572,77 giga ton.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Tutuka Ariadji membeberkan, hal itu didapatkan berdasar hasil penelitian tim dari Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi Lemigas Kementerian ESDM.
"Dari penelitian tim Lemigas Ditjen Migas, didaptkan data potensi besar penyimpanan karbon saline aquifer sebesar 572,77 giga ton, kemudian potensi depleted oil and gas reservoirs sebesar 4,85 giga ton," ucap Tutuka dalam keterangannya, Kamis (22/2/2024).
Baca juga: Gunakan CNG untuk Mesin Penggilingan, Pabrik Semen Tekan Emisi Karbon Pembakaran Jadi 56,1 Kg CO2
Angka tersebut, ungkap Tutuka, masih dalam rentang penelitian yang disampaikan lembaga lain.
Seperti lebih besar apabila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rystad Energy dengan potensi sebesar 400 giga ton.
Dan masih lebih kecil apabila dibandingkan dengan perhitungan lembaga lainnya.
Lebih lanjut, Tutuka menjelaskan bahwa angka tersebut didapatkan berdasarkan hasil penelitian di 20 cekungan migas yang berproduksi di Indonesia, baik pada saline aquifer maupun pada depleted oil and gas reservoir.
"Tentu data ini akan berkembang dan akan menjadi perhatian kami untuk terus memperbaharui data terkait potensi penyimpanan karbon," imbuhnya.
Tentunya potensi penyimpanan karbon di Indonesia masih sangat besar, lanjut Tutuka, mengingat saat ini di Indonesia memiliki 128 cekungan migas, dan yang sudah diteliti baru 20 cekungan yang berproduksi.
Beberapa diantaranya seperti, Cekungan North East Java sebesar 100,83 giga ton, Tarakan 91,92 giga ton, North Sumatera 53,34 giga ton, Makassar Strait 50,7 giga ton, serta Central Sumatera 43,54 giga ton.
Baca juga: Lewat Berbagai Upaya, Pertamina Patra Niaga Berperan Aktif Mengurangi Emisi Karbon
"Dari 128 cekungan itu, masih ada 27 cekungan discovery dan selebihnya prospektif yang belum dieksplorasi," tutur Tutuka.
Seiring dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, dimungkinkan untuk terjadinya karbon cross border, Tutuka menjelaskan bahwa kapasitas domestik untuk penyimpanan karbon tetap menjadi prioritas utama, dengan besaran 70 persen dari kapasitas penyimpanan karbon nasional.
Sedangkan kapasitas sisanya, atau 30 persen, diperuntukkan untuk karbon cross border.
Namun, dalam skema karbon cross border, urainya, harus ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.
"Pertama dilakukan adalah adanya MoU antar negara, atau bilateral dulu, baru disitu ada turunannya kerja sama B to B (Business to Business). Kemudian diatur pula emitter penghasil carbon yang akan menyimpan emisinya di indonesia ini harus mempunyai investasi atau terafiliasi dengan investasi di Indonesia," pungkasnya.