Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menggodok aturan penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Rencananya aturan tersebut akan diterapkan pada tahun ini. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Bea Cukai Kemenkeu Askolani.
Menurut dia, pihaknya melalui Badan Keuangan Fiskal (BKF) telah melakukan pendekatan dengan Kementerian atau Lembaga, salah satunya kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin.
Baca juga: Konsumsi Makanan dan Minuman Tinggi Kandungan Gula Tingkatkan Risiko Obesitas dan Diabetes pada Anak
Ia mengatakan, Kementerian Kesehatan mendukung aturan tersebut dengan tujuan kesehatan
"Memang menkes memang sangat mensupport pada tahun 2024. Kemenkeu sudah melakukan koordinasi lintas K/L untuk mempersiapkan regulasi dan revisi MBDK," ungkap dia dalam konferensi pers virtual, Jumat (23/2/2024).
"Setelah tahapan itu pemerintah baru mengumumkan kebijakan tersebut. Sejalan dengan itu diskusi kita berjalan di DPR komisi 11," tambah Askolani.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berupaya mengatasi peningkatan obesitas dan penyakit tidak menular salah satunya dengan melakukan pembatasan konsumsi MBDK.
Salah satunya lewat implementasi kebijakan cukai pada produk tersebut.
Dikutip dari Kemenkes, urgensi penerapan cukai ini karena konsumsi tinggi minuman berpemanis dapat menyebabkan diabetes.
Diabetes merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan penelitian Vasanti S Malik et al. (2019), setiap peningkatan 1 takaran saji minuman berpemanis per hari berhubungan dengan peningkatan berat badan sebesar 0,12 kg per tahun pada orang dewasa.
Baca juga: Kantor Bea Cukai Kediri Amankan Mobil Pikap yang Mengangkut Rokok Ilegal
Kemudian, kelebihan konsumsi minuman berpemanis satu porsi per hari akan meningkatkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 sebesar 18 persen, stroke 13%, dan serangan jantung (infark miokard) 22%.
“Peraturan saat ini tengah disosialisasikan dan dikoordinasikan bersama pemangku kepentingan terkait seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait besaran cukai yang akan diterapkan,” ucap Eva, di Jakarta pada awal tahun ini.
Pengenaan cukai pada MBDK dilatarbelakangi oleh dampak negatif yang ditimbulkan dari konsumsinya, baik dalam hal kesehatan masyarakat, khususnya peningkatan prevalensi PTM, maupun beban finansial yang ditanggung oleh sistem kesehatan.
Cukai MBDK salah satu intervensi yang dinilai cukup efektif untuk mengatasi PTM. Apalagi, sebanyak 108 negara yang menerapkan kebijakan ini.
Berdasarkan penelitian Ferretti dan Mariani (2019), Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara setelah Maldives dan Thailand dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebesar 20,23 liter per orang di Asia Tenggara. Sumber lain, Rosyada dan Ardiansyah (2017), menyebutkan konsumsi MBDK di Indonesia mengalami peningkatan 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir, yakni sebanyak 51 juta liter pada 1996 dan bertambah menjadi 780 juta liter pada 2014.
Diharapkan, penerapan kebijakan ini dapat memperbaiki perilaku konsumsi masyarakat, memperbaiki kesehatan masyarakat, dan mendorong reformulasi produk industri yang lebih sehat.