News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Harga Beras Melonjak

Narasi Bansos Sebabkan Harga Beras Naik Tak Benar, Ini Ekonom Dradjad Wibowo

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi harga beras yang cerderung meningkat

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Indef Dradjad Wibowo merasa perlu memberikan penjelaskan menyoal narasi harga beras naik karena penyaluran bantuan sosial (bansos).

Menurutnya, narasi ini salah dan menyesatkan.

“Salah, karena bertentangan dengan teori baku,” ucap Dradjad, Senin (26/2/2024).

Baca juga: Daerah-daerah yang Siap Gelontor Beras Dengan Panen Raya, Stok Padi Bakal Surplus

“Jika bansos membuat harga beras naik, berarti bansos menggeser kurva permintaan ke kanan,” sambungnya.

Anggota Dewan Pakar TKN menyampaikan fatanya bahwa rakyat penerima bansos selama ini mengonsumsi beras dalam jumlah tertentu.

Bedanya, tanpa bansos, mereka membeli beras dari kantong sendiri.

Dengan bansos, uangnya utuh atau dibelanjakan barang dan jasa lain.

Kuantitas berasnya relatif tidak berubah banyak.

“Jadi yg bergeser akibat bansos adalah pendapatan disposable rakyat, bukan kurva permintaan beras,” urainya.

Jika permintaan beras tidak bergeser, cateris paribus, harga tidak berubah.

Dradjad menegaskan narasi itu bertentangan dengan teori.

Menyesatkan karena narasi itu tidak berbasis data.

Baca juga: Soal Kelangkaan Beras, Satgas Pangan Polri Pastikan Tak Ada Penimbunan

Faktanya, harga beras dunia memang sedang naik tinggi.

Data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB yaitu FAO.

Mereka mempunyai indeks harga beras yg disebut FARPI, atau the FAO All Rice Price Index.

Pada Januari 2024 angka FARPI adalah 142,8. Bulan Januari 2023 angkanya 126,4. Artinya, harga beras dunia secara rerata naik 13 persen selama Januari 2023-Januari 2024. FARPI Januari 2024 itu bahkan tertinggi sejak tahun 2008.

“Selama 2024 harga beras dunia diperkirakan akan naik 6 persen menurut Bank Dunia, bahkan kenaikan ini akan berlanjut hingga awal 2025,” kata Dradjad.

Kenaikan drastis di atas dipicu beberapa faktor.

Pertama, larangan ekspor beras varietas non-basmati oleh India per 21 Juli 2023.

Larangan ini ditambah dengan restriksi ekspor lain yaitu penerapan harga dasar ekspor USD 950/metrik ton (MT) terhadap beras basmati dan 20 persen tarif terhadap ekspor beras setengah matang.

India adalah eksportir beras terbesar dunia, menguasai lebih dari 40 persen pasar. India menyalip Thailand sebagai eksportir terbesar mulai tahun 2011. Restriksi ekspor India membuat 9 juta MT beras menghilang dari pasar global sehingga harga melonjak.

Kedua, terjadi El Nino sehingga produksi beras di berbagai negara anjlok.

S&P memperkirakan produksi India turun dari 135,5 juta MT tahun lalu menjadi 128 juta MT.

Pemerintah Thailand memroyeksikan penurunan produksi 6 persen selama 2023-24.

Dengan demikian wajar jika harga beras di Indonesia juga melonjak.

Untuk mengurangi dampak jeleknya bagi rakyat, pemerintah perlu segera menggelontor pasar dengan cadangan beras Bulog.

Operasi pasar ini bisa mengurangi skala kenaikan harga.

Itu sebabnya Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mendorong masyarakat beralih ke beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) yaitu beras Bulog.

Mendag juga menyebut stok aman karena Bulog memilik cadangan 1,5 juta ton, dan sudah mengimpor 4 juta ton serta on going 2 juta ton.

Menko Perekonomian Airlangga dan Mendag Zulkifli juga sudah meminta penyaluran beras Bulog dipercepat dan diperbanyak.

“Gerak cepat Bulog ini sangat penting bagi rakyat banyak, selain untuk mementahkan plintiran politik yang mengarah fitnah,” imbuh Dradjad.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini