Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM. JAKARTA - Pemerintah telah menerbitkan revisi regulasi terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.
Pada tanggal 29 Januari 2024, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah meneken Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).
Beleid itu menggantikan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum.
Baca juga: Revisi Aturan Soal PLTS Atap, Skema Jual Beli Listrik Dihapuskan
Ekonom senior sekaligus pembina Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad Wibowo turut mengkritisi Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024.
“Permen tersebut berpotensi menghambat transisi ke energi surya,” kata Dradjad dikonfirmasi Tribun, Selasa (27/2/2024).
Menurutnya, biaya pemakaian energi surya berisiko lebih mahal, birokrasinya lebih panjang.
“Tidak sejalan dengan arahan Presiden Jokowi untuk mempercepat capaian Indonesia menuju NZE (Net Zero Emission),” tukasnya.
Dradjad berpandangan Permen 2/2024 itu cerminan paradigma lama, memberi proteksi berlebihan terhadap PLN.
Seharusnya KemenESDM justru mendorong PLN menggenjot sumber EBT bagi pembangkitnya.
“Bukan malah menerbitkan permen yang merugikan PLTS Atap,” ujarnya.
Seperti diketahui m terbitnya Revisi Permen tersebut, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa skema jual beli listrik dari pemasangan PLTS Atap, sudah tidak bisa dilakukan oleh pengguna PLTS Atap.
Baca juga: YLKI: Revisi Regulasi PLTS Atap Jadi Kebijakan yang Untungkan Negara dan Masyarakat
Walau demikian, pemerintah akan memberikan insentif untuk menarik pemasangan PLTS Atap.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 13 dalam Permen, yang berisikan bahwa kelebihan energi listrik dari sistem PLTS Atap yang masuk ke jaringan pemegang IUPTLU tidak diperhitungkan ke dalam penentuan jumlah tagihan listrik pelanggan PTLS atap.
"Kan tidak ada ekspor impor (listrik), tapi kita tetap ada insentifnya. Jadi konsumen yang pasang PLTS Atap itu tidak kena charge, kan ada biaya sandar dan sebagainya. Nah di dalam itu tidak ada, itu sebagai insentif," ujarnya.
Namun, dalam beleid tersebut Pasal 47 tercantum bahwa bagi sistem PLTS Atap yang telah beroperasi dan terhubung ke jaringan pemegang IUPTLU, ekspor impor listrik dinyatakan tetap berlaku selama 10 tahun sejak mendapatkan persetujuan dari pemegang IUPTLU.
Selain itu, pelanggan PLTS Atap yang telah mendapatkan persetujuan dari pemegang IUPTLU namun belum beroperasi sebelum Permen ini berlaku, mekanisme perhitungan ekspor impor listrik dan ketentuan biaya kapasitasnya tetap berlaku selama 10 tahun sejak mendapatkan persetujuan dari pemegang IUPTLU.
Lebih lanjut Dadan menyebutkan dalam Permen anyar tersebut akan menerapkan sistem kuota, mengingat PT. PLN (Persero) harus menjamin kualitas listrik tetap andal untuk disalurkan kepada masyarakat dan industri.
"PLN juga punya keterbatasan dari sisi menerima listrik dari PLTS Atap. Misalnya sekarang mendung, padahal PLN menghitung ini ada listrik plts atap, di satu sisi harus menyediakan listrik yang harus siap salur, di sisi lain tetap harus menyalurkan listrik yang berkualitas," imbuh Dadan.
Sistem kuota tersebut termaktub dalam Pasal 7-11, dimana kuota pengembangan sistem PLTS Atap disusun oleh pemegang IUPTLU dengan mempertimbangkan arah kebijakan energi nasional, rencana dan realisasi rencana usaha penyediaan tenaga listrik.
Serta keandalan sistem tenaga listrik sesuai dengan ketentuan dalam aturan jaringan sistem tenaga listrik (grid code) pemegang IUPTLU untuk jangka waktu 5 tahun yang dirincikan per tahun.