Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menyoroti tingginya tumpukan utang pemerintah pusat. Ecky menyampaikan bahwa bahwa saat ini adalah lampu kuning bagi utang pemerintah.
“Utang pemerintah pusat sudah berada pada angka yang sangat tinggi," ujar Ecky saat dikonfirmasi, Rabu (28/2/2024).
Ecky memaparkan, per Desember 2023, angkanya mencapai angka sekitar Rp8.100 triliun. Hal tersebut menjadi lampu kuning bagi pemerintah.
Baca juga: Kilas Balik AHY Kritik Food Estate, Cipta Kerja, dan Singgung Utang Negara, Kini jadi Menteri Jokowi
"Saya memantau, utang pemerintah meningkat signifikan sejak 10 tahun terakhir," tambah Ecky.
Dia menambahkan, adanya peningkatan utang pemerintah mencapai lebih dari Rp5.000 triliun sejak 2014. Menurut Ecky, tambahan utang yang ada semakin memperburuk kondisi anggaran negara.
Dia menilik bagaimana utang yang diterbitkan hanya digunakan untuk menambal beban utang lainnya. Di sisi lain, Ecky juga berpendapat bahwa tumpukan utang yang selama ini diterbitkan pemerintah belum mampu memberikan daya ungkit bagi pertumbuhan ekonomi.
"Pertama, saya ingin menyoroti kondisi utang yang sebenarnya digunakan untuk menambal beban bunga utang yang ada. Kondisi ini tercermin dari defisit keseimbangan primer," kata Ecky.
Dia menjelaskan, defisit tersebut melebar pada tahun 2015 dan semakin melebar setelah 2019. Di sisi lain, tumpukan utang yang diterbitkan belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
"Pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5 persen sejak 10 tahun terakhir," ucap Ecky.
Ecky kemudian menambahkan bahwa kondisi utang saat ini tidak berada pada situasi yang aman. Klaim pemerintah bahwa utang pemerintah berada pada kondisi aman, dinilai Ecky, tidak tepat.
Terlebih klaim tersebut didasarkan pada rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebab hal itu, tidak menggambarkan kondisi penerimaan negara yang digunakan untuk membayar utang. PDB merupakan besaran nilai tambah perekonomian secara nasional.
Baca juga: Indonesia Serap Dana dari Surat Utang Negara Rp15,8 Triliun
"Mustinya profil risiko utang dapat dilihat dengan rasio lain yang lebih ideal. Misalnya, Debt to Service Rasio (DSR). Ukuran ini menggambarkan bagaimana utang dibandingkan dengan kemampuan devisa untuk membayar utang tersebut," terang Ecky.
Jika utang meningkat tanpa diikuti oleh peningkatan ekspor dan penerimaan devisa lain, kata Ecky, maka ketersediaan dollar untuk membayar utang semakin terbatas. Transmisi akhirnya adalah pada nilai tukar.
"Rasio amannya adalah berada pada angka 20 persen. Sejak 2015, rasio DSR kita konsisten di atas 24 persen. Memang menurun saat terjadi boom komoditas pada 2020 hingga 2022, namun kondisi ini tidaklah berkelanjutan. Ini alarm yang nyata bagi fiskal dan perekonomian kita,” jelas Ecky.
Untuk itu, Ecky berharap agar persoalan utang ini dapat dilihat secara lebih serius. Peningkatan utang saat ini berada pada situasi yang cukup berisiko.