Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Prof Ahmad Muslim menilai Indonesia sebagai negara agraris mampu menanam 2-3 kali padi dalam setahun.
Prof Ahmad juga berpendapat bahwa teknologi pertanian RI dari hulu sampai ke hilir sudah cukup mapan.
“Kita punya potensi lahan kering seluas 144 juta hektar belum lagi dengan lahan rawa 13 juta hektar,” katanya dalam Forum Merdeka Barat 9 bertajuk Persiapan Ramadan, Kondisi Harga Bahan Pokok di Jakarta, Senin (4/3/2024).
Baca juga: Soal Kenaikan Harga Beras, Jokowi: Coba Cek Pasar, Jangan Ditanyakan ke Saya
Dengan potensi yang dimiliki itu membuat Prof Ahmad prihatin harga beras di Indonesia melonjak bahwa tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menurutnya, tenaga kerja petani juga murah begitu juga bibit unggul yang sudah banyak ditemukan.
"Teknologi untuk penanaman padi kita sudah sangat established (mapan) dari hulu hingga ke hilir. Semuanya bisa diakses,” tutur Ahmad.
“Dan juga banyak sekali bibit unggul yang sudah ditemukan oleh perguruan tinggi, di industri sendiri sudah ditemukan bibit yang tahan terhadap hama. Begitu juga dengan bibit-bibit unggul lainnya yang sudah ada,” tukasnya.
Atas kondisi itu, Prof Ahmad menyayangkan harga beras meningkatkan dan El Nino dijadikan sebagai faktor utama penyebab penurunan produksi.
Prof Ahmad mengungkapkan problem besar adalah produksi beras di Indonesia sangat rendah sehingga tidak mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
“Produksi kita 30,90 juta hektar, sementara konsumsinya 35 juta hektar,” ujarnya.
Begitu juga dengan (kedua) luas lahan yang terhitung sangat rendah sehingga belum cukup untuk memproduksi yang memenuhi kebutuhan konsumsi.
Baca juga: Manuver Bulog Atasi Persoalan Beras, Percepat Impor hingga Gelontorkan SPHP ke Pasar
“Jadi bisa dibayangkan luas panen untuk padi, cuma 10,2 juta hektar,” ujar dia.
Idealnya untuk memenuhi konsumsi masyarakat, luas lahan padi mencapai 500 meter persegi per kapita.
“Jika menghitung populasi 281 juta, dikali 500 meter persegi, butuh 140 juta meter persegi. Artinya, kita butuh 14 juta hektar, baru kita memenuhi swasembada pangan,” tuturnya.
Dia pun menekankan pentingnya strategi sistematis jangka pendek dan jangka panjang agar tidak lagi bergantung kepada impor.
Sementara untuk jangka panjang, Prof Ahmad mendorong swasembada pangan harus diwujudkan dengan potensi lahan, tenaga kerja, dan teknologi yang sudah ada.
“Butuh political will dari pemerintah. Sustainability dari political will pemerintah ini kadang-kadang kurang,” ungkap Ahmad.
Ia mencontohkan political will terkait anggaran di mana hanya tahun 2015 anggaran untuk Kementerian Pertanian (Kementan) mencapai angka tertingginya Rp30,7 triliun.
“Itu terus turun di 2022 hingga 27 persen, sebesar 14,25 triliun. Tidak termasuk 10 kementerian dengan anggaran besar. Ini berbeda dengan Orde di mana anggaran yang berhubungan dengan beras sangat masif,” tuturnya.
Sebagai informasi, Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) mencatat harga rata-rata nasional beras medium mencapai Rp15.950 per kg.
Angka itu jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp10.900 per kg hingga Rp11.800 per kg sesuai zonasi.