Itu sama dengan kebutuhan tepung terigu di kisaran 550 ribu - 600 ribu metrik ton per bulannya untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan.
Sementara itu, kebutuhan akan Premiks Fortifikan (HS 2106.90.73) sekitar 1.500–1.800 metrik ton per tahun.
Berubahnya aturan pengadaan Premiks Fortifikan disebut dapat mengganggu rantai pasok tepung terigu secara nasional, bahkan sektor usaha para UKM.
Sebagai catatan, kapasitas produksi seluruh anggota APTINDO sama dengan sekitar 95 persen kebutuhan tepung terigu nasional.
APTINDO Sudah Bersurat ke Pemerintah
Franky mengatakan, APTINDO sudah mengirim surat kepada Pemerintah melalui berbagai instansi terkait sejak Maret lalu.
Surat pertama APTINDO langsung ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.
Namun, sampai sekarang, sudah hampir dua bulan, belum ada balasan dari pemerintah kepada APTINDO.
"Kami para pelaku industri terigu nasional belum pernah mendapat arahan yang jelas dan pasti, kenapa harus berubah aturan impor pengadaan Premiks Fortifikan ini.
Bahkan tidak ada jawaban yang pasti," ujar Franky.
Ia mengatakan, APTINDO tidak mungkin memasarkan tepung terigu ke masyarakat tanpa adanya Premiks Fortifikasi.
Sebab, itu adalah aturan wajib pemenuhan hak-hak konsumen yang tidak boleh dilanggar.
"Kami industri tepung terigu nasional yang taat konstitusi,” ujar Franky.
Ia pun berharap Pemerintah segera meninjau ulang aturan Permendag 36/2023 tentang pengadaan Premiks Fortifikan.
Pemerintah diminta segera membuatkan aturan baru atau pengecualian khusus terkait impor Premiks Fortifikan untuk tepung terigu karena stok sudah sangat menipis.
"Bahkan, ada yang sudah habis bulan April ini. Jangan sampai Pemerintah melanggar sendiri aturan yang dibuatnya, yakni Aturan Wajib Fortifikasi SNI," tutur Franky.
"Jangan juga menghambat penyelesaian masalah yang menjadi perhatian Pemerintah saat ini yakni masalah stunting dan atau pemenuhan kebutuhan gizi,” pungkasnya.