News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Indef: Pertumbuhan Ekonomi 5,2 Persen di RAPBN 2025 Tanda Pemerintah Tak Optimistis

Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin berfoto dengan Ketua DPR Puan Maharani, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Lodewijk Freidrich Paulus, Rachmat Gobel dan Muhaimin Iskandar saat Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR Tahun Sidang 2024-2025 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024).?Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo mengatakan belanja negara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2025 direncanakan mencapai sebesar Rp3.613,1 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.693,2 triliun, dan transfer ke daerah sebesar Rp919,9 triliun. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2025 sebesar 5,2 persen tidak jauh berbeda dibandingkan APBN 2024.

Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Indef Riza Annisa Pujarama mengatakan, postur RAPBN yang tidak jauh berbeda itu menandakan tidak optimisnya pemerintah jika dibandingkan APBN tahun-tahun sebelumnya.

Hal itu dia sampaikan dalam Diskusi Publik dengan tema 'RAPBN 2025 di Masa Transisi: Apa Saja yang Harus Diantisipasi?' secara virtual, Minggu (18/8/2024).

"Sebenarnya kalau lihat dari postur asumsi dasar ekonomi makro di RAPBN 2025 ini, tidak seoptimis tahun-tahun sebelumnya di patoknya. Pertumbuhan ekonominya tetap sama dibandingkan dengan 2024, meskipun inflasinya rendah 2,5," kata Riza.

Riza menyatakan, asumsi inflasi sebesar 2,5 persen perlu diperhatikan lantaran beberapa bulan ini terjadi deflasi. Menurutnya, inflasi yang rendah itu bisa menjadi indikator bahwa telah terjadi penurunan daya beli secara umum.

Di satu sisi, Riza menyebut bahwa asumsi inflasi yang rendah ini bisa tercapai jika tidak ada kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), harga pangan dan energi yang stabil.

"Kemudian, dan ini pada gilirannya, daya beli ini akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran, juga dari sisi konsumsi rumah tangga." jelasnya.

Riza juga menyoroti pembiayaan yang tinggi justru membuat risiko meningkat. Hal ini tergambar dari tingkat suku bunga SBN 10 tahun dipatok 7,1 persen. Sebelumnya, pada APBN 2024 sebesar 6,7 persen.

Baca juga: Target Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Prabowo-Gibran Terlalu Ambisius

Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar diasumsikan berada di level Rp 16.100 yang menandakan nilai tukar terus melemah bertahun-tahun lantaran nilai rupiah terus terdepresiasi dampak dari persaingan global.

"Ini juga bisa sebagai indikator, warning untuk kita bahwa daya saing untuk nilai tukar ini memperlihatkan daya saing kita berarti sedang turun. Ini perlu diperhatikan kembali karena ini akan disangkut-paut juga dengan perdagangan luar negeri, ekspor-impor," tutur Riza.

Selain itu, lifting minyak 600 ribu barel per hari dan lifting gas 1,005 ribu barel oil equivalent/hari ini menunjukan asumsi yang rendah dibandingkan tahun 2024 akan berdampak pada penerimaan negara tahun 2025.

Baca juga: Jokowi: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kisaran 5,0 Persen, Lebih Tinggi dari Rata-rata Global

"Harga minyak mentah masih di 8.200. Harga komoditas sudah mulai stabil, pergerakannya tidak terlalu tinggi naik-turunnya. Kemudian lifting minyak dan lifting gas ini turun. Seperti yang kita ketahui bahwa sumber-sumber penghasil minyak dan gas kita itu sudah tua. Sementara sumber minyak dan gas baru itu belum banyak, belum ada," tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan asumsi makro dalam RAPBN 2025 yakni pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen. Hal ini dirancang dengan situasi geopolitik yang masih akan menghantui kondisi perekonomian global.

"Growth di 5,2 persen, memang dalam situasi yang tadi disampaikan Pak menko kita harapkan dengan interest rate mulai menurun, akan ada momentum growth. Tapi yang tidak pasti adalah fragmentasi dan geopolitik yang masih akan menimbulkan disruption, yang pattern nya itu tidak pernah bisa terbaca secara mudah," kata Sri Mulyani.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini