Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jumlah kelompok kelas menengah mengalami tren penurunan dalam 5 tahun terakhir di Indonesia.
Hal itu berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Dari data yang diperoleh, jumlah penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori kelas menengah berada pada angka 57,33 juta jiwa pada tahun 2019.
Namun angka tersebut terus menurun, pada 2021 tercatat menjadi 53,93 juta jiwa, kemudian pada 2022 sebesar 49,51 juta jiwa, dan pada 2023 sebanyak 48,27 juta jiwa.
Baca juga: BPS Catat Jumlah Masyarakat Kelas Menengah Terus Merosot
Padahal, kelas menengah merupakan salah satu penyumbang utama pengeluaran konsumsi rumah tangga Indonesia.
"Jumlah mereka cukup besar dengan tingkat konsumsi yang relatif tinggi. Pada tahun 2023, jumlah Kelas Menengah Indonesia mencapai 48,27 juta orang atau 17,44 persen dari total populasi Indonesia dan menyumbang sekitar 38,80 persen terhadap total konsumsi masyarakat," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, dikutip Sabtu (31/8/2024).
Ia melanjutkan, kelas menengah Indonesia memiliki peran krusial sebagai bantalan ekonomi nasional.
BPS juga mengungkapkan penilaian terkait kategori atau pengelompokan kelas masyarakat berdasarkan angka pengeluarannya.
Amalia mengungkapkan, terdapat 5 jenis kelompok masyarakat.
Yakni kelas atas, menengah, menuju kelas menengah, rentan miskin, dan miskin.
Berdasarkan data BPS, kelompok Kelas Atas rata-rata mencatatkan pengeluaran senilai Rp9,90 juta ke atas per bulan.
Kemudian untuk kelas Menengah, pengeluaran per bulan berada di rentang Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta.
Lalu untuk kategori Menuju Kelas Menengah berada di angka Rp874 ribu hingga Rp2,04 juta per bulan.
Pengeluaran untuk kelas Rentan Miskin senilai Rp582 ribu hingga Rp874 ribu per bulan. Dan untuk kelas masyarakat Miskin senilai di bawah Rp582 ribu per bulan.
Baca juga: Bulog Imbau Orang Kaya Tidak Beli Beras SPHP: Ini Buat Masyarakat Berpendapatan Menengah Bawah
"Garis kemiskinan di tahun 2024 besarannya adalah Rp582.993 per kapita per bulan, jadi kalau yang pengeluarannya Rp874 ribu sampai dengan Rp2,04 juta itu belum masuk kelas menengah tetapi menuju kelas menengah," ungkap Amalia.
Faktor Turunnya Kelas Menengah
Mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengungkap bahwa penyebab penurunan kelas ini variatif.
Penyebab utamanya adalah pandemi Covid-19. Saat wabah ini merebak selama dua tahun, masyarakat kelas menengah kehilangan pekerjaan dan yang memiliki bisnis mengalami kebangkrutan.
Ketika akhirnya pandemi Covid-19 mulai pulih pada 2022, tingkat suku bunga tinggi pun masuk.
Tingkat suku bunga tinggi masuk karena Bank Sentral Amerika Serikat (AS) sudah mulai menaikkan tingkat suku bunga akibat inflasi yang tinggi. Saat itu pun nilai tukar rupiah melemah.
"Jadi saya melihatnya kombinasi yang dimulai dari Covid, kemudian diperpanjang atau diperparah dengan tingkat bunga tinggi, nilai tukar rupiah yang melemah, jadi apa-apa lebih mahal. Itu kan mengurangi daya beli juga," kata Bambang kepada wartawan di Kuningan, Jakarta Selatan, dikutip Jumat (30/8/2024).
Kemudian, Bambang mengatakan kondisi saat itu diperparah dengan inflasi pangan, terutama harga beras, mengalami kenaikan.
Kala itu, inflasi pangan mengalami kenaikan karena adanya kekhawatiran dari pemerintah terhadap fenomena kekeringan yang berkepanjangan, yaitu El Nino.
Meskipun inflasi umumnya baik-baik saja, tetapi inflasi harga pangannya sempat tinggi.
Bambang juga mengatakan, penurunan kelas ini juga disebabkan badai PHK yang terjadi di industri tekstil.
Industri tekstil dalam negeri dinilai tidak sanggup berhadapan atau bersaing dengan produk impor di pasar.
"Kombinasi itulah yang membuat sebagian kelas menengah itu turun dari kelas menengah mungkin ke aspiring middle class," jelas Bambang.
Selain faktor-faktor yang di atas, Bambang mengatakan judi online juga memberi dampak yang luar biasa terhadap penurunan kelas ini.
"Judi online itu dampaknya luar biasa dan yang terlibat kan banyak di kelas itu. Menengah, aspiring, dan mungkin yang near poor karena sifatnya adiktif. Itu cepat sekali menghabiskan income kita. Nah itu juga berpengaruh," pungkasnya.
Pemerintah Berusaha Genjot Kembali Jumlah Kelas Menengah
Pemerintah sedang mencoba agar bisa mendorong kembali peningkatan jumlah kelas menengah di Indonesia.
Sekretaris Menteri Koordinator (Sesmenko) Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan alasan pemerintah ingin lebih mendorong pertumbuhan masyarakat kelas menengah.
Dia bilang, masyarakat kelas menengah Indonesia memiliki kontribusi ekonomi yang tinggi.
Selain itu, masyarakat kelas menengah dinilai juga men-generate atau menghasilkan pajak untuk negara.
"Justru kalau kelas menengah kita perbesar, selain kontribusi ke ekonominya tinggi, kelas menengah kan bisa men-generate juga untuk tax based-nya lebih besar. Jadi perpajakannya akan lebih bagus," ujar Susiwijono di Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024).
"Kita kan khawatir di 2023 ke 2024 ini kan proporsi kelas menengah dan aspiring middle class mulai agak turun sedikit kan, kita ingin meningkatkan kembali porsi, peran, dan kontribusi ke perekonomian," lanjutnya.
"Kalau kelas menengah jumlahnya meningkat, itu otomatis tax based-nya lebih tinggi. Pembayar pajaknya lebih besar. Itu salah satu aspek aja perpajakan," ujar Susiwijono lagi.
Maka dari itu, pemerintah telah mengucurkan banyak insentif untuk masyarakat kelas menengah.
Di antaranya seperti program perlindungan sosial, insentif pajak, kartu prakerja, jaminan kehilangan pekerjaan, pembayaran iuran yang ditanggung pemerintah untuk kesehatan, kredit usaha rakyat, dan lain-lain.
Untuk di sektor perumahan, pemerintah telah mengucurkan Insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) 100 persen untuk sektor perumahan per 1 September hingga Desember 2024.
Lalu, ada juga penambahan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) tahun 2024.
Kuota akan bertambah dari 166 ribu unit menjadi 200 ribu unit.