Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang sumber energinya berasal dari bahan bakar fosil masih menjadi sorotan.
Pasalnya, jika sumber dari EV masih berasal dari fosil, itu sama saja seperti memperlihatkan ruang tamu yang bersih, tetapi ternyata dapurnya kotor.
Hal itu dikatakan oleh pengamat energi yang merupakan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro.
"Kalau yang menjadi sorotan selama ini di dalam EV itu kan basis sourcenya atau energinya masih fosil. Artinya di ruang tamunya bersih tapi di dapurnya masih kotor," katanya dalam acara diskusi di Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2024).
Baca juga: Kanada Berlakukan Tarif Impor 100 Persen untuk Kendaraan Listrik Asal China
Komaidi memandang bahwa konsumen menginginkan EV yang ruang tamu dan dapurnya bersih.
Dengan kata lain, sumber energi dari EV itu tidak bisa lagi berasal dari fosil.
Ia juga mengatakan, beberapa jurnal internasional menunjukkan bahwa ketika sumber listrik sebuah EV masih berasal dari fosil, itu tidak lebih baik dibandingkan kendaraan berbasis BBM.
Kalau di dapurnya masih pakai batu bara, ia menyebut jejak karbonnya belum tentu lebih baik dibandingkan jejak karbon mobil-mobil berbahan bakar BBM.
"Nah yang cukup menarik ada beberapa jurnal internasional menyampaikan bahwa ketika sumber listriknya itu masih pakai fosil atau bahkan batu bara sebagian besar, itu ada komparasi bahkan tidak jauh lebih baik dibandingkan BBM," ujar Komaidi.
"Karena gridnya emisi itu kalau di fosil yang paling tinggi adalah batubara, kemudian minyak, kemudian gas," lanjutnya.
Selain konsumen, investor EV juga menaruh perhatian dalam persoalan ini.
Komaidi bilang, para investor memiliki komitmen dalam mengembangkan EV harus berbasis energi bersih.
"Investor punya komitmen nih. Kalau memang kita mengembangkan EV, sumbernya yang bersih dong. Artinya dapurnya juga bersih supaya ruang tamunya juga bersih. Itu ada manfaatnya juga begitu," ucapnya.
Oleh karena itu, penggunaan EV di Indonesia dinilai jangan hanya memindahkan emisi dari satu tempat ke tempat lain.
"Jadi ibaratnya itu emisinya jangan memindahkan saja nih. Di Jakarta emisinya bersih, tetapi di pinggirannya naik. Jadi hanya memindahkan emisi di Jakarta ke sana begitu. Nah ini yang tuntutannya investor sebetulnya mengarah ke arah sana," tutur Komaidi.
"Saya kira hampir semua penggerak atau penggiat lingkungan sepakat ke arah situ," pungkasnya
Indonesia telah kehilangan kesempatan menggaet Tesla berinvestasi di dalam negeri karena hal ini.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani membeberkan alasan perusahaan otomotif asal Amerika Serikat itu urung berinvestasi di Indonesia, lantaran belum siapnya ekosistem energi hijau di tanah air.
Hal itu dia sampaikan saat Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI, di Gedung DPR Jakarta, Selasa (3/9/2024).
"Salah satu yang mereka mengalihkan investasinya bukan ke kita karena mereka bilang kita sebagai EV car tentunya semuanya ingin bersih istilah mereka," kata Rosan.
"Tetapi, kalau mereka masuk ke kawasan industri di kita, tetapi energinya masih dari fossil fuel, base energy kayak coal (batu bara), itu enggak in line dengan visinya mereka," imbuhnya.
Rosan mengakui, soal ekosistem hijau ini memang Indonesia masih tertinggal jauh diantara negara-negara lain di Asia Tenggara.
Dia mencontohkan perusahaan Singapura yang berinvestasi di Vietnam yang sudah mengimplementasikan tenaga energi bersih
"Company (perusahaan) di Singapura, Sembcorp, dia hanya dari Sambcorp saja sudah punya 13 (solar Cell) di Vietnam Kawasan ekonomi di Vietnam. Dia akan buka lagi sampai 18 dalam waktu 2-3 bulan kedepan," ungkapnya.