TRIBUNNEWS.COM - PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex telah resmi dinyatakan pailit sejak Rabu (23/10/2024).
Putusan tersebut dinyatakan oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang yang mengabulkan putusan Pengadilan Negeri Semarang dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Diketahui pemohon dari perkara ini adalah PT Indo Bharat Rayon.
Sementara itu pihak termohon yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Lantas bagaimanakah sebenarnya kronologi PT Sritex dinyatakan pailit? Simak rangkumannya berikut ini.
Kronologi PT Sritex Pailit
Diketahui berdiri tahun 1966, Sritex dibangun oleh HM Lukminto di Pasar Klewer, Solo sebagai perusahaan perdagangan tradisional.
Selanjutnya Lukminto mulai membuka pabrik cetak pertamanya untuk menghasilkan kain putih dan berwarna.
Pada tahun 1978, Sritex mulai mendaftarkan diri sebagai Perseroan terbatas dalam Kementerian Perdagangan.
Lalu memasuki tahun 1982, Lukminto berhasil mendirikan pabrik tenun pertamanya.
Kemudian pada 1992 Sritex semakin berkembang dan memperluas pabrik dengan empat lini produksi yakni pemintalan, penenunan, sentuhan akhir dan busana,
Adapun lini produksi tersebut dilakukan dalam satu atap.
Baca juga: Sritex Pailit, Kemenaker: Jangan Buru-buru PHK, Serikat Pekerja untuk Tetap Tenang
Kesuksesan Sritex bahkan dilirik oleh Barat hingga pabrik tekstil ini menjadi produsen seragam militer untuk NATO dan tentara Jerman.
Bahkan disaat Indonesia dihantam krisis moneter, Sritex justru berhasil melipatgandakan pertumbuhannya sampai delapan kali lipat, sahamnya melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2013 dengan kode SRIL.
Sayangnya pada tahun 2021, saham SRIL sempat di suspend karena penundaan pembayaran pokok dan bunga medium term note (MTN) tahap III 2018 ke-6 (USD- SRIL01X3MF).
Suspensi tersebut berlanjut sampai 18 Mei 2023.
BEI bahkan berulang kali memberikan surat peringatan potensi delisting pada emiten sektor tekstil tersebut.
Kemudian Sritex digugat oleh salah satu debiturnya, CV Prima Karya, yang mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Baca juga: Sritex Terlilit Utang Rp 23 Triliun, Pemiliknya Pernah Masuk Daftar 50 Orang Terkaya di RI
Disusul PT Indo Bharat Rayon yang menggugat Sritex karena dianggap tidak penuhi kewajiban pembayaran utang yang sudah disepakati.
Utang Sritex dilaporkan telah menggunung, tercatat hingga September 2022, total liabilitas SRIL mencapai 1,6 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 24,66 triliun (kurs Rp15.500).
Adapun jumlah utang-utang tersebut didominasi oleh utang bank dan obligasi.
Utang-utang tersebut merupakan dampak adanya konflik geopolitik antara Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina yang menyebabkan terjadinya gangguan supply chain dan penurunan ekspor karena terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat di Eropa maupun AS.
Tak hanya itu, industri tekstil mulai mengalami pelemahan karena imbas over supply tekstil di China.
Hal ini menyebabkan terjadinya dumping harga dan membuat pasar Indonesia mulai ditinggalkan.
Baca juga: Sejarah dan Kronologi Bangkutnya Raja Tekstil RI Sritex, Pasok Seragam ke NATO
Ada Pembatalan Perjanjian Damai
Diketahui putusan pailit Sritex ini juga dipengaruhi dengan adanya pembatalan perjanjian damai yang diajukan oleh PT Indo Bharat Rayon, sebagai debitur PT Sritex.
Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang, Haruno Patriadi mengatakan, perjanjian damai itu tak dilaksanakan sepenuhnya oleh Sritex.
Sehingga Sritex dinyatakan telah lalai akan perjanjian damai tersebut.
"Kan dulunya sempat pernah damai. Karena oleh PT Sritex itu tidak dilaksanakan sepenuhnya maka dinyatakan telah lalai," kata Haruno dilansir Kompas.com, Kamis (24/10/2024).
Atas kelalaian tersebut, Sritex harus melakukan pembayaran sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian homologasi yang telah disepakati.
Homologasi ini adalah pengesahan oleh hakim atas kesepakatan antara debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan.
Baca juga: Penyebab Raksasa Tekstil PT Sritex Dinyatakan Pailit
"Perjanjian itu dikukuhkan menjadi homologasi namanya. Ketika perjanjian itu dilaksanakan, namun dalam perjalanan si termohon (PT Sritex) tak melaksanakan sepenuhnya," jelas Haruno.
Selain itu, Substansi dari perjanjian antara penggugat dan tergugat adalah bahwa PT Sritex wajib membayar sejumlah nominal setiap bulan kepada penggugat.
"Jadi tiap bulan, akan membayar kepada mereka yang dalam permohonan itu tiap bulan," jelas Haruno.
Selanjutnya konsekuensi dari kelalaian yang dilakukan Sritex ini adalah putusan pailit pada PT Sritex yang dinyatakan oleh Hakim Ketua Muhammad Anshar Majid.
"Dan lalai tersebut keputusan yang kemarin itu jadi pailit dengan segala akibat hukumnya," pungkas Haruno.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Seno Tri Sulistiyono)(Kompas.com/Alinda Hardiantoro/Muchamad Dafi Yusuf)