Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku pada awal 2025.
Plt Ketua Pengurus Harian YLKI Indah Suksmaningsih memandang kebijakan ini akan memberi beban tambahan bagi masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi.
Indah paham bahwa kenaikan PPN pada dasarnya diamanatkan dalam Undang-undang No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Namun, menurut dia, situasi sosial dan ekonomi saat ini membuat kebijakan tersebut tidak relevan.
Baca juga: Kemenperin Berharap Industri Agro Tak Tahan Investasi Karena Adanya Kenaikan PPN Jadi 12 Persen
"Di masa masyarakat mengalami penurunan pendapatan dan kenaikan harga kebutuhan pokok, menaikkan PPN dipastikan memberatkan rakyat," kata Indah dikutip dari keterangan tertulis pada Kamis (21/11/2024).
Indah menyebut kenaikan PPN yang terjadi sebelumnya pada April 2022, dari 10 persen menjadi 11 persen, masih dirasakan beratnya oleh masyarakat.
Ia menilai jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025, hal ini akan semakin memperburuk daya beli konsumen.
Masyarakat berpotensi menunda atau bahkan membatalkan pembelian barang-barang yang dikenakan PPN tinggi.
Contohnya seperti barang elektronik, pakaian, dan peralatan rumah tangga.
"Dampaknya, dunia usaha dan industri pun akan terimbas, dengan penurunan penjualan yang berujung pada lesunya roda ekonomi," ujar Indah.
Lalu, ia menyebut kebijakan kenaikan PPN ini juga menimbulkan ketidakjelasan terkait kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani sebelum 1 Januari 2025.
Sebab, kontrak-kontrak yang ditandatangani sebelum 1 Januari 2025 masih menggunakan PPN 11 persen.
"Siapa yang akan menanggung selisih harga akibat perubahan tarif PPN ini? Hal ini tentu akan menambah bingung para pelaku usaha dan konsumen," ucap Indah.
Ia memandang pemerintah seharusnya tak membebani konsumen dengan pajak yang tinggi.
Sementara itu, pengemplang pajak justru tidak mendapatkan sanksi tegas.
Alih-alih menaikkan PPN, kata Indah, pemerintah harusnya fokus pada peningkatan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha kakap dan para pengemplang.
"Agar beban pajak tidak jatuh lagi-lagi pada rakyat kecil," tutur Indah.
Solusi
Indah menyebut YLKI mengusulkan agar pemerintah menangguhkan atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen.
Langkah tersebut dianggap sebagai solusi yang lebih bijaksana dalam melindungi daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi Indonesia ke depan.
Dibanding menaikkan PPN, ia menyebut seharusnya pemerintah menaikkan cukai rokok dan memberlakukan cukai minuman manis.
Cukai pada dua hal tersebut dinilai bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat.
"Penerapan cukai rokok dan minuman manis juga memiliki manfaat ganda, yaitu meningkatkan pendapatan dan mengendalikan dampak kesehatan," jelas Indah.
"Oleh karena itu, kebijakan yang lebih rasional dan berimbang perlu diambil oleh pemerintah," pungkasnya.