Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pemerintah ihwal menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen tahun 2025, nyatanya menuai kontroversi. Petisi penolakan PPN 12 persen pun berseliweran di media sosial X pada Kamis (21/11/2024).
Mengutip akun media sosial X @barengwarga, tautan petisi chng.it/44f5cWsNP8 ini dimulai sejak tanggal 19 November 2024 dan sudah ditandatangani sebanyak 2.996 orang. Data per hari ini saja, sudah 1.644 tandatangan.
"Pemerintah, segera batalkan kenaikan PPN!" tulis petisi tersebut.
Baca juga: Industri Restoran dan Hotel Terdampak Penurunan Daya Beli, Awal Tahun Depan Dihajar PPN 12 Persen
Akun @barengwarga menuliskan bahwa kenaikan PPN 12 persen ini secara langsung akan membebani masyarakat, karena menyasar barang-barang kebutuhan pokok. Hingga akhirnya daya beli masyarakat akan berdampak dan bisa jadi terjadi pelambatan.
"Kalau keputusan menaikan PPN itu dibiarkan bergulir, mulai harga sabun mandi sampai Bahan Bakar Minyak (BBM) akan ikut naik. Otomatis daya beli masyarakat akan terganggu dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup," tulis akun @barengwarga.
"Untuk itu sudah selayaknya kita menuntut pemerintah untuk segera membatalkan kenaikan PPN seperti yang tertera dalam UU HPP. Kita semua dapat ikut menuntut melalui petisi yang tertera pada tautan di bawah ini," sambungnya.
Adapun penolakan PPN 12 persen ini sebelumnya juga sudah diserukan oleh Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal. Dia menilai, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa yang semakin mahal. Juga berpotensi terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor.
"Lesunya daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor," kata Said Iqbal dalam keterangannya, dikutip Rabu (20/11/2024).
Said Iqbal menyebut, rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. pada 2025 di tengah upah yang minim semakin memperparah kondisi ekonomi masyarakat kecil dan buruh.
Kebijakan ini diprediksi akan menurunkan daya beli secara signifikan, mengakibatkan kesenjangan sosial yang lebih dalam dan menjauhkan target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai 8 persen.
Baca juga: Menko Airlangga Pastikan Pemerintah Siapkan Perencanaan Meredam Dampak PPN 12 Persen
Di sisi lain, kenaikan upah minimum yang mungkin hanya berkisar 1 persen sampai 3 persen dan dinilai tidak cukup untuk menutup kebutuhan dasar masyarakat.
"Akibatnya, daya beli masyarakat merosot, dan dampaknya menjalar pada berbagai sektor ekonomi yang akan terhambat dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen," tuturnya.
PPN 12 persen berlaku awal Januari 2025
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).
Saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.
Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi Covid-19.
"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," ujar Sri Mulyani.