"Ini hanya masalah kemauan saja dari perusahaan global berteknologi tinggi tersebut untuk berinvestasi di Indonesia. Di negara lain yang tingkat ekonomi dan SDM-nya di bawah Indonesia saja mereka bisa berinvestasi, apalagi di Indonesia yang punya pertumbuhan ekonomi tinggi dengan pasar domestik yang besar. TKDN bukanlah isu atau penghambat mereka membangun pabriknya di Indonesia," ucap Febri.
Baca juga: Apa Itu TKDN yang Membuat iPhone 16 Belum Boleh Dijual di Indonesia?
Peningkatan penggunaan produk dalam negeri merupakan upaya pemberdayaan industri dalam negeri yang diinisiasi melalui belanja pemerintah.
Kewajiban menggunakan produk dalam negeri di instansi pemerintah menjadi wajib ketika produk lokal yang memiliki penjumlahan nilai TKDN dan BMP paling sedikit 40 persen.
Tentunya, selain untuk pemberdayaan industri, program P3DN pun bertujuan untuk memperdalam dan memperkuat struktur industri dalam negeri.
Dengan penggunaan komponen dalam negeri pada produk dalam negeri, diharapkan akan menumbuhkan industri-industri di dalam negeri, baik di hulu, antara, maupun hilir.
Tidak hanya industri yang menghasilkan komponen, industri yang membuat mesin pun akan terdampak positif.
Berdasarkan perhitungan dampak ekonomi BPS diketahui bahwa multiplier ekonomi kebijakan TKDN sekitar 2,2. Artinya setiap belanja Rp 1 produk manufaktur dalam negeri bisa menciptakan nilai ekonomi sebesar Rp 2,2.
Pada tahun 2024 nilai belanja pemerintah dan BUMN/BUMD atas produk manufaktur kurang lebih sekitar Rp1.441 triliun di tahun 2024.
Dengan demikian nilai ekonomi dengan pemberlakukan kebijakan ini mencapai kurang lebih Rp 3.170 trilliun.
"Besarnya dampak yang muncul dari penggunaan produk dalam negeri tentu tidak bisa dianggap main-main. Hal ini terjadi karena belanja produk dalam negeri menciptakan backward linkage dan forward linkage dalam sektor-sektor ekonomi Indonesia," jelas Jubir Kemenperin.