TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pencapaian target nol emisi karbon di Indonesia pada tahun 2060 dapat dilakukan dengan memaksimalkan teknologi yang ada.
Yakni dengan menambahkan energi terbarukan dan teknologi penyeimbang tenaga listrik sambil menghentikan secara bertahap pembangkit listrik yang tidak fleksibel.
Memperluas pembangkit energi terbarukan dengan cepat dalam jangka pendek sangat penting untuk mencapai target emisi nol bersih.
Demikian disampaikan Direktur Penjualan Wartsila Energy Indonesia, Febron Siregar, dalam diskusi terbatas di Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Hadir dalam diskusi antara lain Senior Geothermal Inspector Irwan Wahyu Kurniawan, Direktorat Panas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI Ricky Faizal, Vice President Pengendalian RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) PT PLN Persero, dan Alloysius Joko Purwanto, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia) sebagai moderator.
Pemaparan hasil laporan berjudul “Crossroad to net zero” tentang pemodelan sistem tenaga listrik global Wartsila yang membandingkan dua jalur dari tahun 2025 hingga 2050 dengan tujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membatasi pemanasan global, sesuai target Perjanjian Paris.
“Hasil pemodelan sistem kelistrikan kami sebelumnya, yang disajikan dalam laporan Rethinking Energy in Southeast Asia, telah menunjukkan bahwa kapasitas daya terbarukan di Indonesia harus 3-4 kali lebih tinggi dari target 2030 saat ini," ujar Febron Siregar.
Di jaringan Sulawesi, total kapasitas tenaga surya yang direncanakan adalah 300 MW pada tahun 2030.
Namun, menurut dia, agar Sulawesi selaras dengan target emisi nol bersih Indonesia sambil menurunkan biaya sistem, maka target tenaga surya harus ditingkatkan menjadi empat kali lipat dari level ini 1.200 MW pada tahun 2030.
Mengikuti tren yang sama, pemodelan global menunjukkan bahwa sistem tenaga listrik yang mencakup daya seimbang memiliki keuntungan signifikan dalam hal pengurangan biaya dan CO₂.
Model tersebut mengungkapkan bahwa jalur ini akan menghasilkan penghematan kumulatif sebesar EUR 65 triliun pada tahun 2050 dibandingkan dengan jalur yang hanya menggunakan energi terbarukan, karena kapasitas energi terbarukan yang dibutuhkan lebih sedikit.
Ini akan menghasilkan rata-rata EUR 2,5 triliun per tahun – setara dengan lebih dari 2 persen PDB global tahun 2024.
Laporan tersebut menguraikan bahwa efektivitas energi terbarukan dapat dimaksimalkan jika didukung oleh pembangkit listrik yang seimbang, yang merupakan kunci dalam meningkatkan energi terbarukan.
Baca juga: Konferensi Perubahan Iklim di Azerbaijan Bahas Pemanfaatan Energi Terbarukan pada 2030