TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belum selesai persoalan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer (km) di Tangerang, Banten, kini muncul hal yang serupa di Bekasi, Jawa Barat, sepanjang 8 km.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ, Achmad Nur Hidayat, menyampaikan, munculnya pagar laut di Tangerang dan Bekasi bentuk kelalaian dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Menurutnya, ketika pertama kali diketahui pada Agustus 2024, panjang pagar baru di perairan Tangerang mencapai 7 kilometer. KKP tidak mengambil langkah tegas untuk menghentikan atau menyelidiki pembangunan pagar ini sejak awal.
Ia menilai, kelalaian tersebut memberi waktu dan ruang bagi pihak-pihak yang terlibat untuk melanjutkan pembangunan hingga mencapai skala masif.
Baca juga: Tak Hanya di Tangerang, Pagar Laut Juga Ada di Bekasi, Sama-Sama dari Bambu, Ada sejak 6 Bulan Lalu
"Pemagaran laut ini jelas-jelas melanggar peraturan terkait pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan," ujar Achmad dikutip Selasa (14/1/2025).
Lambannya tindakan KKP mencerminkan ketidakmampuan lembaga ini dalam mengawasi dan melindungi ruang laut yang seharusnya menjadi milik publik.
Tak Mungkin Dilakukan Ormas
Nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) mengklaim pagar dibangun secara swadaya oleh masyarakat sebagai upaya mitigasi tsunami dan abrasi.
Namun, Achmad menyampaikan klaim ini perlu dipertanyakan. Pembangunan struktur bambu sepanjang 30,16 kilometer di Tangerang dan 8 kilometer di Bekasi membutuhkan biaya besar, tenaga kerja terorganisir, serta logistik yang tidak mungkin dikelola oleh ormas kecil.
Menurutnya, Struktur pagar yang terdiri dari cerucuk bambu, anyaman bambu, dan pemberat berupa karung pasir mengindikasikan adanya perencanaan teknis yang matang dan pendanaan besar.
"Fakta bahwa pagar laut di dua lokasi berbeda memiliki desain serupa semakin memperkuat dugaan adanya aktor besar di balik pembangunan ini. Tidak logis jika ormas dengan sumber daya terbatas mampu melakukan operasi skala besar secara simultan," ujarnya.
Kemungkinan Ada Investor di Balik Pemagaran Laut
Ia menduga keterlibatan investor besar semakin menguat ketika melihat skala dan metode pembangunan pagar ini.
Investasi semacam ini biasanya memiliki tujuan jangka panjang yang menguntungkan pihak tertentu.
"Penting untuk mengusut apakah proyek ini berkaitan dengan jejaring bisnis besar seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Agung Sedayu Group, yang memiliki kepentingan dalam pengembangan kawasan pesisir," tuturnya.
Ia menyampaikan, meski pihak PIK 2 telah membantah keterlibatannya, penyelidikan lebih mendalam perlu dilakukan untuk memastikan kebenaran.
Pemagaran Laut yang Sistematis dan Serentak
Pemagaran laut di Tangerang dan Bekasi terjadi secara sistematis dan hampir bersamaan.
Hal ini menunjukkan adanya koordinasi yang baik, kekuatan modal besar, dan dukungan politik yang kuat.
"Jika hanya melibatkan masyarakat lokal, mustahil pembangunan ini dapat berjalan dengan skala dan kecepatan seperti sekarang," paparnya.
Keberadaan pagar serupa di dua lokasi berbeda juga mengindikasikan adanya modus operandi yang dirancang untuk kepentingan tertentu.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan pagar laut ini dapat dijerat dengan berbagai pasal hukum:
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur bahwa setiap kegiatan di wilayah pesisir harus memiliki izin pemanfaatan ruang laut (KKPRL).
Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda maksimal Rp10 miliar.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha tanpa memiliki izin lingkungan dapat dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun dan denda maksimal Rp3 miliar.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 192 menyebutkan bahwa setiap orang yang menghalangi akses umum dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama 9 tahun.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Ruang Laut memberikan kewenangan untuk memberikan sanksi administratif hingga pidana terhadap pelanggaran tata ruang laut.
"Jika terbukti ada keterlibatan investor atau perusahaan besar, mereka dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi atau kolusi jika terbukti memanfaatkan kekuatan politik untuk melanggar hukum," paparnya.