Celios Ungkap Fenyebab Penerimaan Negara Merosot, Utang Pemerintah Potensi Tembus Rp10 Ribu Triliun

Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PENERIMAAN PAJAK - Penerimaan pajak hingga Februari 2025 sebesar 30,19 persen dan hanya mencapai Rp 187,8 triliun atau setara 8,6 persen dari target. Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa krisis pada penerimaan pajak menimbulkan risiko penambahan utang yang tidak terkendali, Jumat (14/3/2025).
PENERIMAAN PAJAK - Penerimaan pajak hingga Februari 2025 sebesar 30,19 persen dan hanya mencapai Rp 187,8 triliun atau setara 8,6 persen dari target. Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa krisis pada penerimaan pajak menimbulkan risiko penambahan utang yang tidak terkendali, Jumat (14/3/2025).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (Celios) menyatakan, pemerintah kehilangan potensi penerimaan negara melalui pajak sebesar Rp 64 triliun pada Januari 2025.

Hal tersebut menyusul dengan penurunan penerimaan pajak hingga Februari 2025 sebesar 30,19 persen dan hanya mencapai Rp 187,8 triliun atau setara 8,6 persen dari target.

Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan, penerimaan pajak turun 41,8 persen jika dibandingkan dengan periode Januari 2024 lalu. 

"Penerimaan pajak turun hingga 41,8 persen (yoy) di tengah implementasi Coretax (sistem digitalisasi perpajakan terbaru). Pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak di bulan Januari 2025 sebesar Rp64 triliun," kata Nailul dalam keterangannya, Jumat (14/3/2025).

Baca juga: Penerimaan Pajak Februari 2025 Turun, Menkeu Sri Mulyani Minta Jangan Didramatisir

Nailul menyebut bahwa ada dua faktor yang memengaruhi penurunan penerimaan pajak. Pertama, terdapat pengembalian dana restitusi atau kelebihan bayar PPN tahun 2024. 

Alasan kedua adalah kendala di sistem Coretax yang membuat wajib pajak kesulitan melaporkan transaksinya. 

"Akibatnya transaksi menjadi terhambat. Rasio Pajak terhadap PDB tahun 2025 bisa lebih rendah dibandingkan tahun 2024, implikasi nya defisit APBN rentan di atas 3 persen dan bisa berpotensi impeachment," jelas dia.

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa krisis pada penerimaan pajak menimbulkan risiko penambahan utang yang tidak terkendali. 

"Bayangkan kalau Januari saja utangnya naik 43,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, maka akhir 2025 diperkirakan utang pemerintah tembus Rp10.000 triliun," kata Bhima.

"Beban bunga utangnya pasti naik tajam tahun depan, membuat overhang utang, memicu crowding out effect di sektor keuangan dan efisiensi belanja ekstrem lebih brutal lagi tahun depan. Rating surat utang pemerintah juga diperkirakan mengalami evaluasi," imbuhnya menegaskan.

Adapun Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, penerimaan pajak sampai Februari 2025 sebanyak Rp 187,8 triliun atau setara 8,6 persen dari target.

Realisasi itu lebih rendah 30,19 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2024 sebesar Rp 269,02 triliun.

"Penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Kamis (13/3/2025).

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu memaparkan, terdapat dua faktor yang memengaruhi kinerja penerimaan pajak menurun.

Pertama, penurunan yang bersumber dari komoditas batu bara yang menurun secara tahunan 11,8 persen, brent minyak itu 5,2 persen dan nikel menurun 5,9 persen. Di satu sisi, ada juga faktor dari administrasi.

"Kalau Anda lihat penerimaan di bulan Januari Februari itu seolah-olah turun tapi sebetulnya itu adalah efek kebijakan TER atau tarif efektif rata-rata atas PPh 21 yaitu pajak atas upah gaji honor karyawan dan pegawai," ujar Anggito.

Meski begitu, penerimaan pajak memiliki tren bulanan yang sama. Bahkan polanya sudah tergambar dari empat tahun terakhir yakni di tahun 2022, 2023 sampai 2024. 

Sehingga Anggito menilai, penerimaan pajak pada Februari yang hanya Rp 187,8 triliun bukan merupakan anomali dan bersifat normal.

"Desember itu naik cukup tinggi karena efek Nataru, akhir tahun. Kemudian menurun di bulan Januari dan Februari. Itu sama setiap tahun, jadi tidak ada hal yang anomali. Jadi sifatnya normal saja," papar dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!

Berita Populer

Berita Terkini