News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

Pakar Hukum Tata Negara: Anti Sains Kebijakan Pemerintah Hadapi Pandemi Covid-19

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petugas PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) memberikan informasi kepada calon siswa baru yang akan mendaftar ke SMA di ruang konsultasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 Jawa Barat di SMAN 3, Jalan Belitung, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (8/6/2020). Pendaftaran PPDB tingkat SMA, SMK, dan SLB 2020 Jawa Barat sudah dibuka. PPDB tahap pertama diperuntukkan bagi para pendaftar jalur non-zonasi, yakni meliputi jalur afirmasi, jalur perpindahan orang tua, jalur anak guru, dan jalur prestasi nilai akademik rapor atau prestasi lomba. PPDB tahun ini seluruhnya dilaksanakan secara online (daring) kecuali SLB, pendaftarannya dapat dilakukan secara mandiri maupun oleh sekolah asal. Tribun Jabar/Gani Kurniawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerhati HAM dan Pakar Hukum Tata Negara Herlambang P. Wiratman menilai pemerintah menerapkan kebijakan yang terkesan anti sains dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Hal ini diungkapkannya dalam webinar 'Memahami Dinamika Arah Kebijakan Publik saat Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Hukum dan Politik', Rabu (10/6/2020).

Pernyataan Herlambang sendiri merujuk pada ilmuwan yang merasa tidak dilibatkan dalam membuat kebijakan di Indonesia.

"Dalam perkembangannya, kebijakan-kebijakan (pemerintah) terkesan kuat anti sains. Ilmuwan merasa tidak dilibatkan, terutama epidemiolog. Ini merupakan refleksi kebijakan yang mencerminkan kepemimpinan anti sains," ujar Herlambang, Rabu (10/6/2020).

Baca: Rekor Tertinggi Covid-19, Pemerintah agar Beri Sanksi Tegas bagi Masyarakat yang Melanggar

Dia menilai kepemimpinan anti sains akan sangat berbahaya bagi masyarakat dan e negara itu sendiri. Apalagi saat ini Indonesia tengah menghadapi pandemi.

Bahaya itu, kata dia, tak lepas dari prioritas kebijakan yang diambil bukan berdasarkan pada penjelasan yang rasional dari sudut pandang ilmiah.

"Tapi menggunakan asumsi, argumen kepentingan diluar kesehatan, di luar pertimbangan penyelamatan manusia dan seterusnya. Saya kira sudah banyak yang menulis di media dan ilmuwan sudah mengatakan kekhawatirannya," kata dia.

Selain itu, Herlambang mengatakan sejak awal strategi kebijakan atau pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah tidak cukup kuat.

Dia mencontohkan pengambilan kebijakan yang berubah-ubah dari darurat masyarakat menjadi bencana nasional non alam.

Pertanyaan juga muncul karena standar pemenuhan bencana nasional non alam adalah pemenuhan kebutuhan hak dasar.

Namun yang terjadi di lapangan adalah berdasarkan charity atau kedermawanan.

"Harusnya itu ditetapkan sebagai kewajiban, dan bukan kedermawanan. Itu menunjukkan bahwa langkah ini patut dipertanyakan efektivitasnya dan sejauh mana masyarakat akan bisa terlindungi ketika ada kebijakan yang sama sekali jauh dari realisasi progresif," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini