News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

Studi Awal dari Amerika Tunjukkan Vaksin Tuberkulosis Bisa Turunkan Angka Kematian Pasien Covid-19

Penulis: Inza Maliana
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto diambil pada tanggal 29 April 2020 ini. seorang ilmuwan melihat sel-sel ginjal monyet saat melakukan tes pada vaksin eksperimental untuk virus corona COVID-19 di dalam laboratorium Cells Culture Room di fasilitas Sinovac Biotech di Beijing. Sinovac Biotech, yang melakukan salah satu dari empat uji klinis yang telah disetujui di China, telah mengklaim kemajuan besar dalam penelitiannya dan hasil yang menjanjikan di antara monyet.

TRIBUNNEWS.COM - Sebuah studi awal dari Amerika menunjukkan vaksin tuberkulosis yang sudah berusia seabad, bisa berperan dalam mengurangi angka kematian Covid-19.

Para peneliti dari Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular dari National Institutes of Health membuat tautan ke Bacille Calmette Guerin (BCG) setelah membandingkan data tingkat Covid-19 di seluruh dunia.

Mereka menemukan, beberapa wilayah Amerika Latin termasuk Pernambuco, Rio de Janeiro, Sao Paulo di Brasil, dan Mexico City di Meksiko, memiliki angka kematian jauh lebih rendah dibanding negara bagian AS seperti New York, Illinois, Louisiana, dan Florida.

Hal itu disampaikan oleh penulis Carolina Barillas-Mury dalam makalah peer-review yang terbiy di Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, Selasa (7/7/2020).

"Ini luar biasa, mengingat Amerika Latin memiliki populasi yang lebih banyak dibanding negara-negara Amerika Utara, termasuk New York," katanya, dikutip dari South China Morning PostMinggu (12/7/2020).

Ilustrasi vaksin virus corona. Rusia mengklaim telah menemukan vaksin corona yang dianggap vaksin paling menjanjikan saat ini.. (Fresh Daily)

Baca: Calon Vaksin Covid-19 Buatan CanSino dari China Direncanakan Diuji Coba Fase Ketiga di Luar Negeri

Di Eropa, Jerman juga memiliki hasil yang mengejutkan.

Pasalnya, angka kematian Covid-19 2,9 kali lebih tinggi di wilayah bekas Jerman Barat dibanding bekas Jerman Timur.

Namun, tingkat kematian di Italia empat kali lebih tinggi dibanding Finlandia.

Menurut penelitian, wilayah dengan angka kematian Covid-19 lebih rendah memiliki beragam latar belakang.

Di antaranya seperti usia, pendapatan, dan akses kesehatan.

Tetapi semuanya memiliki satu kesamaan, yakni program vaksinasi BCG untuk mencegah tuberkulosis (TB).

Di Jerman misalnya, rencana imunisasi BCG berbeda, yaitu sebelum negara disatukan pada 1990.

Bekas Jerman Timur mulai memberikan vaksinasi BCG untuk mencegah TB satu dekade lebih awal di banding bekas Jerman Barat.

IMUNISASI ANAK - Petugas mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap menyuntikkan vaksin pada anak yang mengikuti program imunisasi di Puskesmas Ngagel Rejo, Selasa (30/6/2020). SURYA/AHMAD ZAIMUL HAQ (SURYA/SURYA/AHMAD ZAIMUL HAQ)

Baca: Vaksin Covid-19 Belum Ditemukan, Masyarakat Diminta Patuhi Protokol Kesehatan

Artinya, lebih banyak orang Jerman yang tinggal di bagian timur telah diberikan vaksin.

Adapun, orang tua lanjut usia berisiko lebih tinggi terinfeksi Covid-19.

Berdasarkan data, para peneliti memperkirakan bahwa peningkatan 10 persen dalam cakupan vaksin TB dapat menyebabkan penurunan 10 persen dalam kematian akibat Covid-19.

Para peneliti juga menantang Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO) terkait vaksin TB yang disebut tidak ada bukti efektif.

Mereka menuturkan, ini bukan studi pertama tentang potensi BCG untuk melindungi diri dari Covid-19.

"Studi ekologi semacam ini rentan terhadap bias dan rancu, termasuk perbedaan dalam demografi nasional dan beban penyakit."

"Tingkat pengujian untuk infeksi virus Covid-19, dan tahap pandemi di setiap negara," kata WHO saat itu.

IMUNISASI ANAK - Petugas mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap menyuntikkan vaksin pada anak yang mengikuti program imunisasi di Puskesmas Ngagel Rejo, Selasa (30/6/2020). SURYA/AHMAD ZAIMUL HAQ (SURYA/SURYA/AHMAD ZAIMUL HAQ)

Baca: Donald Trump Menaruh Harapan Besar pada 3 Kandidat Vaksin Corona, Menyebut Amerika Akan Segera Pulih

Luis Escobar, salah satu penulis studi mengatakan penelitian ini telah mempertimbangkan kekhawatiran WHO.

"Semua negara berbeda. Guatemala memiliki populasi yang lebih muda dibanding katakanlah Italia."

"Jadi kami harus membuat penyesuaian data untuk mengakomodasi perbedaan itu," kata Escobar.

Para peneliti mengtakan, efek positif dari vaksin BCG sangat signifikan.

Namun, ahli belum memiliki jawaban pasti mengapa ini memberi dampak positif.

Perlu diketahui, nama BCG diambil dari mikrobiolog Perancis Albert Calmette dan Camille Guerin yang mengembangkannya.

Vaksin BCG mengandung strain hidup Mycobaterium bovis, yang terkait dengan bakteri penyebab TB.

Foto diambil pada tanggal 29 April 2020 ini. seorang ilmuwan melihat sel-sel ginjal monyet saat melakukan tes pada vaksin eksperimental untuk virus corona COVID-19 di dalam laboratorium Cells Culture Room di fasilitas Sinovac Biotech di Beijing. Sinovac Biotech, yang melakukan salah satu dari empat uji klinis yang telah disetujui di China, telah mengklaim kemajuan besar dalam penelitiannya dan hasil yang menjanjikan di antara monyet. (NICOLAS ASFOURI / AFP)

Baca: Temuan Vaksin Covid-19 Harus Patuhi Uji Klinis dan Keselamatan Publik

Penyakit, yang menyebabkan satu dari tujuh kematian di Amerika dan Eropa pada pergantian abad ke-20.

Vaksin BCG sendiri mulai diperkenalkan pada tahun 1921.

Studi sebelumnya telah menemukan vaksin itu juga dapat memberi anak-anak perlindungan luas terhadap penyakit lain.

Seperti infeksi saluran pernapasan yang tidak terkait dengan TBC.

Fenomena ini telah dilaporkan di negara-negara termasuk Guinea-Bissau dan Spanyol.

Barillas-Mury mengatakan para peneliti menduga vaksin itu dapat "melatih" respons imun bawaan anak.

"Ini untuk memenuhi lonjakan permintaan vaksin yang mendadak demi mencegah keterlambatan distribusi ke negara-negara yang sangat membutuhkan vaksin BCG untuk melawan TBC," ujarnya.

Namun para peneliti mengingatkan, ini masih studi awal dan tidak boleh digunakan untuk memandu kebijakan pemerintah pada tahap ini.

(Tribunnews.com/Maliana)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini