TRIBUNNEWS.COM - Juru Bicara (Jubir) Satgas Covid-19 RS Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), dr Tonang Dwi Ardyanto menilai kebijakan pembatasan sosial tidak cocok dilakukan di kondisi pandemi Covid-19 saat ini.
Menurut Dokter Tonang, aturan pembatasan tidak begitu pas karena kasus yang begitu meluas.
"Kalau kita mau jujur, pembatasan apapun tidak cocok karena kasus sudah begitu meluas, apalagi pembatasan RT," ungkap Tonang dalam program Overview Tribunnews.com dengan tema Gonta-ganti Aturan Pandemi, Kamis (11/2/2021).
Diketahui, aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro, mengatur zona risiko hingga tingkat RT.
"RT kita itu, satu RW ada enam RT dalam satu blok."
"Kadang beda RT hanya berseberangan jalan, bagaimana pembatasannya," ungkap Tonang.
Baca juga: Di Pekan Pertama, Efektivitas PPKM Mikro Harus Dievaluasi
Tonang menyebut akan aneh jika rumah berhadapan sudah beda RT, namun memiliki zona risiko berbeda.
Sehingga, Tonang menyebut pembatasan sosial saat ini akan pas jika dilakukan antarpulau.
"Kalau kita betul-betul mau melakukan proses pembatasan bener, minimal satu pulau," ungkap Tonang.
"Artinya orang terbatas betul untuk keluar pulau. Masih bisa (keluar pulau), tapi susah kalau dibatasi bandara dan pelabuhannya," lanjut Tonang.
Baca juga: DPR apresiasi Kemendagri terkait kebijaan PPKM Mikro
Pelaksanaan Aturan di PPKM Mikro
Sementara itu untuk diketahui, PPKM mikro dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria zonasi pengendalian wilayah hingga tingkat RT.
Dikutip dari Kompas.com, kriterianya dibagi menjadi empat zona, yakni zona hijau, zona kuning, zona oranye, dan zona merah.
1. Zona merah ditetapkan bila terdapat lebih dari 10 rumah dengan kasus positif.
Pada zona merah, baru diterapkan PPKM tingkat RT yang mencakup pelacakan kontak erat, isolasi mandiri,penutupan rumah ibadah, tempat bermain anak, dan tempat umum lainnya kecuali sektor esensial.
Lebih lanjut, juga diberlakukan larangan berkerumun lebih dari tiga orang, pembatasan keluar masuk wilayah RT maksimal hingga pukul 20.00.
Selain itu, kegiatan sosial masyarakat di lingkungan RT yang dapat menimbulkan kerumunan dan berpotensi menimbulkan penularan virus corona wajib ditiadakan.
2. Berikutnya, zona oranye diberlakukan apabila terdapat 6-10 rumah dengan kasus konfirmasi positif dalam tujuh hari terakhir.
Penanganan dilakukan dengan pelacakan kontak erat dan menutup rumah ibadah, tempat bermain anak, serta tempat umum lainnya kecuali sektor esensial.
3. Sementara itu, zona kuning, bila terdapat satu hingga lima rumah dengan kasus positif Covid-19 selama tujuh hari terakhir, diharuskan melalukan pelacakan kontak erat.
4. Selanjutnya pada zona hijau, yang tidak ada kasus aktif di tingkat RT, maka dilakukan tes pada suspek secara aktif.
Seperti Kehilangan Pegangan
Sementara itu dalam diskusi tersebut, Tonang menilai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia dinilai seperti kehilangan pegangan dengan banyaknya istilah dalam aturan dan kebijakan pemerintah untuk menekan penyebaran kasus.
Tonang menyebut, sebenarnya sudah ada Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) RI Nomor 413 tahun 2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang bisa digunakan sebagai pegangan.
"Tidak mudah berkomentar (mengenai berubah-ubahnya aturan di masa pandemi), kita ini sering kali gamang dalam beberapa hal, sehingga aturannya berubah-ubah," ungkap Tonang.
"Jika kita menilik dokumen resmi KMK No 413 tahun 2020 sudah jelas ada 24 indikator, terbagi dalam tiga kelompok kriteria yang digunakan pemerintah, disebut sebagai indikator penanganan pandemi kesiapan menuju tatanan baru," lanjut Tonang.
Baca juga: Kebijakan Penanganan Pandemi Berubah dari PSBB hingga PPKM Mikro, Ahli: Seperti Kehilangan Pegangan
Sehingga menurutnya, pemerintah harusnya fokus terhadap 24 indikator tersebut.
"Sebenarnya sudah ada itu, tidak perlu berliak-liuk, berlika-liku kemana-mana."
"Justru muncul PSBB, PPKM, ada PSBB Transisi, dan yang lain, sehingga justru kita seperti kehilangan pegangan," ungkap Tonang.
Menurut Tonang, dengan indikator tersebut sudah merangkum jelas penanganan pandemi.
"Sepertinya kita mencari pegangan lain terus, sehingga justru yang sudah ada, saya merasa belum pernah secara tuntas, menyeluruh, 24 indikator tersebut diurai betul oleh pemerintah."
"Kita seperti kehilangan pegangan, maaf, saya harus menyampaikan itu," ungkap Tonang.
Baca juga: Pergulatan Bersama Meredam Covid-19 dengan PPKM Mikro
Tonang mengungkapkan, informasi yang disajikan saat ini bukanlah informasi utuh.
"Kita hanya secara random saja kadang mengatakan soal angka kasus, jumlah tes, tapi tidak dalam satu bentuk yang utuh."
"Sering kali kita mengatakan ini kasusnya turun, tapi kita tidak melengkapi dengan kasus turun karena tesnya turun," jelasnya.
Sehingga, menurut Tonang, penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia semestinya dikembalikan kepada aturan itu.
"Kita kembalikan semua ke sana, usul saya kembali saja ke indikator yang sudah ada di KMK."
"Jelas kita pakai bareng-bareng, dibaca bareng-bareng, menurut saya sudah cukup bagus," ungkap Tonang.
Baca juga: PPKM Mikro Berlaku, Ini Aturan Masa Berlaku Hasil Swab PCR dan Antigen sebagai Syarat Perjalanan
Diketahui, di awal terkonfirmasinya kasus Covid-19 di Indonesia, pemerintah membuat istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ketimbang menggunakan istilah lockdown dan yang lain.
Kemudian di DKI Jakarta, muncul istilah PSBB Transisi.
Lalu, pemerintah menerbitkan aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali.
Kemudian saat ini, pemerintah memberlakukan PPKM Mikro untuk menekan laju penyebaran Covid-19.
Adapun diketahui dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) RI Nomor 413 tahun 2020 telah disebutkan jika Badan Kesehatan Dunia (WHO), sudah menerbitkan panduan sementara yang memberikan rekomedasi berdasarkan data tentang penyesuaian aktivitas ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
Serangkaian indikator dikembangkan untuk membantu negara melalui penyesuaian berbagai intervensi kesehatan masyarakat berdasarkan kriteria kesehatan masyarakat.
Selain indikator tersebut, faktor ekonomi, keamanan, hak asasi manusia, keamanan pangan, dan sentimen publik juga harus dipertimbangkan.
Keberhasilan pencapaian indikator dapat mengarahkan suatu wilayah untuk melakukan persiapan menuju tatanan normal baru produktif dan aman dengan mengadopsi adaptasi kebiasaan baru.
Kriteria yang perlu dievaluasi untuk menilai keberhasilan dikelompokkan menjadi tiga domain melalui tiga pertanyaan utama yaitu:
1. Kriteria Epidemiologi - Apakah epidemi telah terkendali?
2. Kriteria Sistem kesehatan - Apakah sistem kesehatan mampu mendeteksi kasus COVID-19 yang mungkin kembali meningkat?
3. Kriteria Surveilans Kesehatan Masyarakat - Apakah sistem surveilans kesehatan masyarakat mampu mendeteksi dan mengelola kasus dan kontak, dan mengidentifikasi kenaikan jumlah kasus? (Ya atau tidak) Ambang batas yang ditentukan sebagai indikasi untuk menilai.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto) (Kompas.com/Dandy Bayu Bramasta)