TRIBUNNEWS.COM - Dokter sekaligus Juru Bicara Satgas Covid-19 RS Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dr Tonang Dwi Ardyanto memberikan tanggapannya mengenai Vaksin Nusantara untuk Covid-19 yang ramai diperbincangkan.
Diketahui Vaksin Covid-19 Nusantara diprakarsai oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bersama Universitas Diponergoro (Undip) dan Aivita Biomedical Corporation.
Terawan disebut mengklaim Vaksin Nusantara merupakan solusi bagi pasien komorbid atau memiliki penyakit penyerta.
Dokter Tonang menyebut sebaiknya tidak ada klaim terlalu dini untuk Vaksin Nusantara.
"Apakah klaim tersebut akan terbukti? Mungkin saja, mungkin juga tidak, minimal tidak sepenuhnya."
"Tapi yang jelas, jalan masih panjang. Sebaiknya, tidak diklaim sekarang atau dalam waktu dekat," ujar Tonang saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (22/2/2021).
Baca juga: Apa Itu Vaksin Nusantara? Ini Pengertian hingga Cara Kerja Vaksin Nusantara
Seperti dilaporkan Kompas TV, Selasa (16/2/2021), Terawan menjelaskan Vaksin Nusantara menggunakan bahan serum darah dari masing-masing individu.
Vaksin Nusantara ini merupakan vaksin personal berbasis sel dendritik (dendritic cell).
"Sebenarnya ide ini bukan hal baru. Sudah sejak 1990-an ide itu ada terutama untuk imunoterapi kanker," ungkap Tonang.
Vaksinasi model ini disebut Tonang bersifat personalized.
"Bakal calon sel dendritik diambil dari seseorang, diolah, disuntikkan ke orang itu sendiri."
"Tidak bisa dari satu orang ke orang lain. Karena risiko penolakan sebagaimana pada transplantasi jaringan," jelas Tonang.
Tonang mengungkapkan rincian teknis vaksinasi jenis ini cukup panjang.
"Membutuhkan sarana prasarana yang tidak sederhana, juga keterampilan khusus pada SDM yang mengerjakannya," ungkap Tonang.
Baca juga: Sekjen Masih Berkoordinasi dengan Kemenkes Rencana Vaksinasi untuk Anggota DPR
Harap Tak Ada Klaim Dini
Lebih lanjut, khusus di Indonesia, Tonang menyebut ide vaksin sel dendritik untuk Covid-19, sudah muncul sejak bulan November 2020 dan makin intensif pada bulan Desember.
"Sebagai suatu ide, kita hargai karena memang ide itu ada alasannya. Ada rujukannya pada kasus lain selain Covid. Tidak masalah."
"Tapi ketika diklaim sebagai Vaksin Nusantara, 10 juta dosis per bulan, biaya kurang dari 200 ribu, antibodi seumur hidup, maka perlu kita dudukkan secara jernih."
"Agar semua tetap sebisa mungkin rasional. Bukan menghambat inovasi, tapi menjaga tetap pada tempatnya," jelas Tonang.
Tonang menekankan, uji klinis sangat diperlukan untuk vaksinasi.
"Bahkan vaksin Covid yang sudah melalui uji klinis dan sekarang dipakai pun, semua masih dalam koriodor uji saking memang tetap harus hati-hati mengingat impact dan outcome yang diharapkan."
"Jadi bahkan yang sudah uji klinik pada puluhan ribu subyek di fase 1, 2 dan sebagian dari periode fase 3 sekalipun, tetap masih harus dibuktikan efektivitasnya ketika digunakan di masyarakat," ungkap Tonang.
Baca juga: Vaksin Nusantara, Hasil Kerjasama Kemenkes dengan RSUP dr Kariadi dan Undip, Berikut Kelebihannya
Tanggapan IDI
Sementara itu Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban memberi apresiasi atas inovasi baru dalam memecahkan masalah pandemi virus corona di Indonesia.
Namun, ada beberapa catatan yang diberikan.
Pertama, Zubairi belum melihat adanya keterbukaan data terkait Vaksin Nusantara.
Dilansir Kompas.com, sampai saat ini ia belum menemukan publikasi data di jurnal ilmiah terkait vaksin tersebut, meski akan memasuki uji klinis tahap 2.
"Kalau ada penelitian-penelitian baru, saya mendukung dan tertarik banget. Namun sebagai dokter, kita harus bicaranya terbuka mengenai data ilmiahnya," kata Zubairi kepada Kompas.com, Jumat (19/2/2021).
"Sel dendritik ini kan sejak beberapa tahun lalu sudah dipikirkan untuk mengatasi kanker. Namun mengatasi penyakit infeksi saya baru denger sekarang. Jadi ini memang hal yang menarik," sambungnya.
Baca juga: Ibu Hamil Boleh Divaksin Covid-19? Begini Kata Kemenkes
Zubairi mengungkapkan, vaksin tersebut berpotensi mengharumkan nama Indonesia jika benar-benar berhasil.
Menurutnya Indonesia nanti akan dianggap sebagai perintis vaksin berbasis dendritik.
Kedua, Zubairi melihat Vaksin Nasional sangat sulit untuk digunakan di masa darurat seperti saat ini.
Pasalnya, proses vaksinasi dari pengambilan darah hingga bisa disuntikkan kembali membutuhkan waktu berhari-hari.
"Tentu tidak mudah, sulit sekali. Padahal target pemerintah 800.000 per hari. Namun jika seandainya berhasil, ya welcome saja, tidak usah untuk ratusan ribu," jelasnya.
"Yang penting adalah terbukti aman dan efektif yang menurut saya saat ini belum cukup data," lanjutnya.
Ketiga, Zubairi mempertanyakan soal klaim Vaksin Nusantara menciptakan antibodi seumur hidup.
Menurutnya, klaim tersebut membingungkan publik dan tidak disertai data.
Bahkan, para ahli dunia pun belum bisa menjawab apakah antibodi yang dihasilkan vaksin Moderna, Sinovac, Pfizer tahan lama.
"Tidak ada itu klaim yang mereka sampaikan bahwa antibodi dari vaksin-vaksin tersebut bisa bertahan enam bulan, satu tahun, apalagi seumur hidup," ujarnya.
Zubairi menegaskan, penelitian vaksin tak hanya membutuhkan harapan, tetapi juga harus berdasar pada data.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Catatan Kritis soal Vaksin Covid-19 Nusantara".
(Tribunnews.com/Gilang Putranto) (Kompas.com/Ahmad Naufal Dzulfaro)