Obat tersebut dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi ini adalah interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah.
"Memang tetap harus diperhatikan terkait dengan risiko efek samping, karena semakin banyak obat tentu risikonya bisa meningkat," jelasnya.
Kemudian untuk terapi COVID-19, Prof Zullies menyebut COVID-19 merupakan penyakit yang unik di mana kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi.
Misalnya pasien yang bergejala sedang sampai berat dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.
"Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin. Justru jika tidak mendapatkan obat yg sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian," ungkap dia.
Menurutnya, dokter tentu akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya dan memilihkan obat yang terbaik untuk pasiennya. Tidak ada dokter yang ingin pasiennya meninggal dengan obat-obat yang diberikannya.
Lantas, kapan interaksi obat dapat merugikan?*
Interaksi obat dapat merugikan jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yg digunakan bersama.
Atau bisa juga jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama, maka akan makin meningkatkan risiko total efek sampingnya.
"Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan," tutur perempuan berhijab ini.
Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi Covid, atau azitromisin dengan levofloksasin.
Keduanya sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung. Jika digunakan bersama maka bisa terjadi efek total yang membahayakan.
Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek terapi obat lain.
Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan