TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Vaksinasi Covid-19 berbayar untuk individu resmi ditunda.
Padahal sebelumnya untuk mendapatkan pelayanan dosis lengkap vaksin COVID-19 masyarakat harus membayar Rp 879.140.
Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai kebijakan berbayar tersebut dirasa kurang tepat dalam situasi pandemi COVID-19.
Alih-alih mempercepat pembentukan herd imunity, pemerintah diharap terbuka pada kondisi kemampuan finasial.
"Menurut saya terbuka saja kalau memang terbatas dananya. Jadi transparan saja," ujar Dicky saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (12/7/2021).
Baca juga: RS Darurat Asrama Haji Pondok Gede Hanya untuk Pasien Covid-19 Ringan dan Sedang
Lebih jauh Prof Dicky menyarankan, pemerintah transparan pada kondisi penanganan COVID-19 terlebih terkait finasial.
"Sehingga nantinya pihak swastanya mana yang mau membantu pemerintah bukan membantu bukan jadi berbayar menurut seharusnya membantu dalam aspek pembayarannya," jelas Prof Dicky.
Ia mengatakan, tidak ada satupun negara di dunia yang melakukan vaksinasi berbayar untuk tujuan herd imunity.
Menurutnya, perlu proses panjang untuk membentuk kekebalan komunal.
"Kalaupun tujuannya untuk herd imunity itu tidak ada. Karena itu masih panjang, yang sekarang dibicarakan 181,5 juta itu ambang batasnya. Di dunia tidak ada yang berbayar untuk mencapai herd imunity. Iya, ada yang berbayar tapi bukan untuk alasan itu herd imunity," jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian BUMN mendukung langkah Kimia Farma Group sebagai bagian dari Holding BUMN Farmasi dalam membantu pemerintah untuk mempercepat herd immunity melalui perluasan akses Vaksinasi Gotong Royong.
Kimia Farma Tunda Layanan Vaksin COVID-19 Berbayar
PT Kimia Farma (Persero) Tbk memutuskan menunda penyelenggaraan vaksin COVID-19 berbayar.
Vaksin COVID-19 gotong royong untuk individu atau perseorangan semula digelar mulai hari ini, Senin (12/7).