Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anak dan remaja cenderung menjadi pendiam saat sekolah tatap muka, setelah selama 2 tahun lamanya melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Ranti dan Annisa, dari Children and Youth Advisory Network (CYAN), Save the Children Indonesia mengaku merasakan dampak langsung dari pembelajaran jarak jauh.
Remaja yang masing-masing berusia 17 dan 19 tahun itu juga menyatakan pentingnya orang dewasa memahami perasaan anak dan pemuda saat krisis.
Menurut Ranti (16), saat sekolah kembali melakukan pembelajaran tatap muka, ia seperti kembali menjadi anak baru, karena mulanya perkenalan dilakukan secara virtual.
Banyak siswa juga yang takut berinteraksi dengan teman maupun guru, karena takut salah bicara.
“Mulanya pandemi yang menjadi konsen, belum tentang krisis iklim. Tugas sekolah menjadi 2 kali lipat karena online. Dampaknya terjadi pada anak (saat sekolah tatap muka), menjadi cenderung takut untuk ngobrol dengan teman maupun guru,” kata Ranti di webinar satgascovid19_komlik, Rabu (25/5/2022).
Menurut Ranti, remaja dan anak harus ‘aware’ dengan haknya dan berani bersuara tentang pemenuhan haknya.
Ranti merasa haknya sebagai anak tidak terpenuhi selama 2 tahun pandemi Covid-19.
Baca juga: Epidemiolog Unair: Penanganan Covid-19 Indonesia Kini Berbasis Data Bukan Lagi Asumsi
Contoh hak mendasar seperti bermain.
Banyak aturan yang harus dilakukan anak dan remaja secara cepat, seperti menyesuaikan dengan aturan untuk memakai masker, jaga jarak, hingga melakukan test antigen.
“Pandemi selama 2 tahun di rumah aja. Awal pandemi jadi stress,” kata Ranti.
Sama seperti Ranti, Anisa saat pandemi merasa ada culture shock yang harus dilalui di awal pandemi.
Saat itu banyak orang yang tidak tahu dengan apa yang mereka hadapi dan harus berbuat apa.
Banyak pula hak anak yang tidak terpenuhi, mulai dari hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan hingga hak mendapatkan pendidikan dengan baik.
Di awal pandemi, guru dan murid pun masih sulit menyesuaikan PJJ.
Baca juga: Lembaga Filantropi Internasional Coca-Cola Company Salurkan Rp 7,9 M untuk Program Vaksin Covid-19
Bahkan beberapa guru seperti tidak peduli, apakah murid paham atau tidak, yang penting kurikulum selesai.
Belum lagi pekerjaan rumah yang menumpuk dan orang tua yang menuntut anak untuk membantu pekerjaan rumah tangga.
Padahal menurut Anisa saat itu anak dan remaja pun memiliki banyak tugas sekolah.
Namun sebagian orang tua terkadang tidak mau mengerti.
“Jadi, penting banget memahami apa yang dirasakan anak,” ujar Anisa.
Berangkat dari situ, Ranti dan Anisa mengajak anak dan remaja untuk berani bersuara agar haknya dapat dipenuhi namun lewat jalur yang tepat dan baik.
Keduanya juga mengajak berperan aktif membangun Indonesia, contohnya seperti menyampai pendapat akan dampak perubahan iklim bagi kehidupan di masa depan.