TRIBUNNEWS.COM – Sejak reformasi dilakukan pada tahun 1998 yang lalu, salah satu aspek kenegaraan yang berubah adalah desentralisasi kekuasaan.
Kini daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam mengatur wilayahnya. Hal ini sering disebut otonomi daerah.
Namun, setelah 17 tahun reformasi berselang, masih banyak yang perlu dibenahi dalam hal otonomi daerah.
Pelaksaannya dinilai masih belum sempurna sehingga diperlukan berbagai perbaikan agar ke depannya semakin berkembang maksimal.
Hal itu pula yang menjadi perhatian DPD RI.
Sebagai lembaga negara yang berperan banyak menjembatani pemerintah daerah dan pemerintah pusat, DPD RI menilai tarik menarik kewenangan antara pusat dan daerah merupakan akar permasalahan otonomi daerah yang belum maksimal.
Ketua Komite I DPD RI Achmad Muqowam menyatakan, UU Nomor 23 Tahun 2014 yang kini menjadi tulang punggung otonomi daerah juga masih mempunyai beberapa kelemahan.
Ia menilai Pemerintah Daerah masih belum siap menjalankan berbagai program dari pemerintah pusat.
Begitu pula sebaliknya. Pemerintah pusat kurang memberi kewenangan penuh pada daerah karena berbagai agenda dan program yang dijalankan masih belum memenuhi harapan.
Hal tersebut ditambah lagi dengan berbagai persoalan lain. Dalam gelaran Expert Meeting yang diadakan DPD RI di Ruang Rapat Komite I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8/2015) silam, beberapa persoalan otonomi daerah pun dikemukakan para pakar bersama DPD RI.
Salah satu pakar yang diundang adalah Prof. Ryaas Rasyid yang telah lama berkecimpung dalam hal otonomi daerah di Indonesia.
Menurutnya, para kepala daerah saat ini selalu dipilih oleh partai politik sehingga banyak kepentingan yang bermain di sana. Kewenangan para aparatur negara pun menjadi rancu.
Sementara itu salah seorang pakar yang lain, Prof. Djoehermansyah Djohan yang merupakan Guru Besar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) mengungkapkan, kapasitas administrasi Pemerintah Daerah masih belum optimal sampai saat ini.
Padahal, menurutnya, kapasitas administrasi tersebut menjadi hal yang cukup penting. Di samping menjadi salah satu kunci sukses otonomi daerah, Indonesia juga sebentar lagi akan menghadapi tantangan global bernama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
“Pusat pun belum siap, apalagi daerah,” tandasnya mengomentari tantangan yang akan dihadapi Indonesia tersebut.
Selain komentar dan pendapat para pakar itu, dalam gelaran Expert Meeting yang digelar DPD RI ini juga menghasilkan sejumlah temuan lain.
Selain tarik menarik kewenangan antara pusat dan daerah, dalam UU No. 23 Tahun 2014 juga ditemukan beberapa pasal yang inkonsisten dengan semangat otonomi daerah.
Hal itu membuat semangat otonomi daerah yang melandasi reformasi 17 tahun yang lalu masih jauh panggang dari api.
Menurut DPD RI dan para pakar, sistem pemerintah kini cenderung kembali pada sentralisasi baik pada aspek anggaran atau kebijakan.
Akibatnya, kontrol pusat menjadi semakin menjangkau kabupaten/kota. Beban Pemerintah Daerah pun menjadi terlalu banyak.
DPD RI hingga saat kini pun terus mendorong penyempurnaan berbagai aspek otonomi daerah yang sedang dilakukan.
Hal tersebut dilakukan dengan maksud membuat kesejahteraan tidak hanya ada di pusat saja, tapi juga menyebar ke daerah-daerah.
Selain itu, guna mendukung pemberdayaan potensi daerah yang lebih luas, DPD RI juga senantiasa menyerap aspirasi masyarakat di berbagai daerah melalui perwakilan para senatornya yang duduk di beragam komite.
Harapannya, dengan aksi dan wujud kerja nyata tersebut, pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat tercapai. (advertorial)
Ikuti terus perkembangan terbaru dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) hanya di Kabar DPD RI.