Administrasi kependudukan diyakini sebagai regulasi utama dalam mengatur peristiwa kependudukan dan menjadi penopang stake holder lain, misalnya bagi penyelenggara Pemilu dan Pilkada, yang dalam faktanya seringkali menjadi dasar untuk menyatakan suatu Pemilu dan Pilkada dikatakan cacat atau tidak.
Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menilai perlu ada pengawasan pelaksanaan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Wakil Ketua DPD RI Akhmad Muqowam di daerah pemilihannya Provinsi Jawa Tengah mengunjungi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Provinsi Jawa Tengah dan Disdukcapil Kota Semarang untuk melakukan pengawasan penyelenggaraan adminitrasi kependudukan.
Akhmad Muqowam mengatakan bahwa Undang Undang Nomor 24 Tahun 2013 telah dilaksanakan di Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.
“Semua Kabupaten/Kota di Jawa Tengah telah menerbitkan regulasi turunan di daerah baik Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota,” ujar Akhmad Muqowam usai melakukan pertemuan di kantor Disdukcapil Kota Semarang, Kamis (25/7).
Meskipun Kabupaten/Kota telah menerbitkan regulasi turunan, Akhmad Muqowam menilai bahwa masih perlu adanya penyamaan persepsi antara Pusat dan Daerah agar tidak ada interpretasi yang berbeda dalam pelaksanaannya terhadap regulasi yang ada khususnya turunan Undang Undang Adminduk seperti Peraturan Pemerintah, Perpres dan Permendagri.
Selain itu, Muqowam menemukan beberapa fakta yang terjadi dilapangan, salah satunya keterbatasan stok blangko KTP elektronik (KTP-el), sehingga dengan agak terpaksa diterbitkan Surat Keterangan (Suket) sebagai pengganti KTP-el.
Muqowam juga mengungkapkan peralatan KTP-el di berbagai Kabupaten/Kota banyak yang tidak berfungsi. Daerah kesulitan untuk penganggaran pengadaan peralatan KTP-el karena di UU Adminduk penyelenggaraan Adminduk dibiayai melalui APBN, sedangkan Dana Alokasi Khusus yang diterima daerah untuk Non Fisik, sehingga perlu dukungan DAK Fisik maupun APBD Kabupaten/Kota.
"Solusi strategis yang diusulkan adalah penyederhanaan proses pengadaan blangko, dengan memberikan kewenangan kepada Gubernur, karena Gubernur adalah wakil Pemerintah Pusat yang ada di daerah," jelas Muqowam.
Fakta lainnya yang ditemukan yaitu Kurangnya tenaga Sumber Daya Manusia dalam pelayanan adminduk untuk sementara dengan rekruitmen tenaga kontrak atau Pekerja Harian Lepas (PHL); Fakta lain di lapangan adalah kesadaran masyarakat untuk segera mengurus peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami masih terkesan pasif; Masalah yang cukup mengganggu pelaksanaan program KTP-el adalah keraguan daerah dalam pelaksanaan kebijakan adminduk (misalnya perpindahan penduduk tanpa pengantar RT/RW); Juga ada kendala untuk melaksanakan Perjanjian Kerjasama dengan SKPD dalam pemanfaatan data kependudukan.
“Bagian Hukum dan Kerjasama berpendapat tidak perlu Perjanjian Kerjasama untuk sesama SKPD (mengacu PP 50/ 2018), padahal pemanfaatan data kependudukan diatur khusus dalam Permendagri Nomor 61 Tahun 2015 tentang Persyaratan, Ruang Lingkup Dan Tata Cara Pemberian Hak Akses Serta Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan, Data Kependudukan dan KTP Elektronik,” urai Muqowam.(*)