TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI telah menyelesaikan satu tahapan penyerapan inventarisasi masalah untuk pengayaan materi pengaturan naskah akademik RUU BUMDes. Dengan demikian, PPUU DPD RI yakin mewujudkan RUU BUMDes di tahun ini, karena respon dari daerah-daerah yang telah dikunjungi sepenuhnya mendukung penyusunan RUU ini.
"Satu hal yang mampu dijadikan kesimpulan besar pada penyerapan DIM itu adalah masyarakat di daerah membutuhkan kepastian hukum yang mengatur BUMDes," ucap Wakil Ketua PPUU Eni Sumarni saat RDPU di Ruang Rapat Majapahit, Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (12/2).
Menurutnya, PPUU DPD RI menyadari bahwa sifat usaha, jenis usaha, dan permodalan BUMDes berkorelasi dengan pendirian dan pengelolaan BUMDes. Penentuan sifat usaha dan jenis usaha merupakan langkah awal yang berfungsi untuk memetakan potensi desa yang bermanfaat secara ekonomi dan sosial bagi masyarakat desa. " Penentuan sifat usaha dan jenis usaha BUMDes adalah langkah awal yang berupaya mengimajinasikan bentuk kelembagaan usaha BUMDes yang beririsan dengan sumber-sumber permodalan dan upaya pengelolaannya," cetusnya.
Senator asal Jawa Barat itu juga menilai bahwa kehadiran kepastian hukum pengaturan BUMDes akan berbeda dengan Koperasi, Yayasan, maupun Perseroan Terbatas. Prinsip BUMDes yang menjalankan usaha di bidang ekonomi, atau pelayanan publik membutuhkan justifikasi perlakuan pengembangan bisnis yang berbeda.
"Pengelolaannya menuntut penciptaan profitabilitas sosial yang lebih besar dibandingkan profitabilitas ekonomi karena Pasal 87 ayat (2) UU Desa memberikan prinsip dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan," kata Eni.
Sementara itu, Ketua PPUU Alirman Sori menyampaikan perlunya membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan dan untuk menciptakan lapangan kerja, mengatasi kesenjangan, dan mengentaskan kemiskinan. “PPUU berkeyakinan bahwa pengaturan BUMDes yang terpisah dari UU Desa dan berfungsi sebagai pelengkap UU Desa akan lebih efektif dan efisien untuk memberikan kepastian hukum dan pengembangan BUMDes," papar Alirman.
Ekonom Senior Indonesia, Aviliani yang hadir dalam rapat tersebut mengatakan dengan adanya dana desa dan BUMDes seharusnya kemiskinan itu tidak ditemukan lagi. “Apabila kepala desanya itu benar-benar menggunakan dana desa dan BUMDes untuk pemberdayaan masyarakat, maka saya menilai angka kemiskinan cenderung turun. Disisi lain pendapatan perkapita masyarakat di desa itu naik. Tetapi hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur tentang badan hukum BUMDes. Karena di Indonesia hanya mengenal badan hukum itu adalah PT, Firma, CV, Koperasi”, terangnya.
Menurut Aviliani apabila tidak ada peraturan yang mengatur tentang badan hukum BUMDes, maka akan terjadi permasalahan mengenai asset. “Jadi kalau BUMDes makin besar, asetnya nanti milik siapa karena dia tidak punya badan hukum yang diakui di Indonesia. Menurut saya mungkin dikembalikan saja pilihan badan hukum kepada mereka. Jenis badan hukumnya boleh koperasi, boleh PT, Firma, pokoknya yang diakui di Indonesia. Saya sarankan kembali ke sana” ungkapnya.
Lebih lanjut Aviliani menyampaikan BUMDes harus bersinergi dengan bupati, perusahaan, dan kelompok tani. “BUMDes akan sukses kalau ada business model yang berkaitan dengan pihak-pihak ini” katanya.
Di sisi lain, Senator asal Jawa Tengah Denty Eka Widi Pratiwi menyarankan Rancangan Undang-Undang BUMDes sebaiknya dibentuk BUMDes kawasan. “Jadi membentuk BUMDes kawasan, apakah itu kawasan ekonomi yang sama-sama daerah itu, sehingga bisa saling berintegrasi, dan keberadaan BUMDes betul-betul ada karena kebutuhan”, usulnya. (*)