TRIBUNNEWS.COM - Menyikapi potensi terhadap kenaikan produksi padi pada masa panen mendatang, Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin melalui keterangan resminya Minggu (7/3/2021) meminta Bulog dapat menyerap hasil panen secara maksimal.
Menurut data yang dirilis BPS, pada 2020, luas panen padi sebesar 10,66 juta hektare dengan produksi sebesar 54,65 juta ton GKG. Jika dikonversikan menjadi beras, produksi beras pada 2020 mencapai 31,33 juta ton.
Potensi produksi padi pada subround Januari–April 2021 diperkirakan sebesar 25,37 juta ton GKG, mengalami kenaikan sebanyak 5,37 juta ton atau 26,88 persen dibandingkan subround yang sama pada 2020 yang sebesar 19,99 juta ton GKG
Berdasarkan asumsi tersebut dan output dari program food estate dibeberapa daerah, Kementan memperkirakan terjadi kenaikan produksi gabah kering giling sebesar 5,37 juta ton dibandingkan triwulan pertama 2020 yang hanya 19,99 juta ton GKG.
Bila potensi kenaikan tersebut benar terjadi, produksi yang tinggi harus mendapatkan prioritas untuk diserap pasar agar berdampak langsung pada kesejahteraan petani.
"Kita semua berharap Bulog dan pasar domestik dapat menyerap langsung secara penuh hasil petani. Sebab kondisi dilapangan menunjukkan ada marjin yang cukup lebar antara harga jual beras dan gabah ditingkat petani yang tidak sebanding dengan harga ditingkat pedagang," ujar senator muda asal Bengkulu tersebut.
Terkait hal tersebut, Mantan wakil gubernur provinsi Bengkulu tersebut berharap Bulog dapat memotong mata rantai distribusi beras atau gabah yang tidak menguntungkan petani dengan cara membeli langsung hasil panen kepada petani bukan dengan membeli beras dipenggilingan (pengusaha).
"Bulog harus menjadi penyeimbang harga komoditas beras, dan tidak boleh hanya berorientasi pokok kepada keuntungan (pendapatan) saja. Bulog harus masuk dan hadir ketengah petani," pinta pria yang akrab dipanggil SBN itu.
Sultan mengingatkan bahwa selain isu kesejahteraan petani nasional, Bulog juga harus mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai pengendali stok pangan nasional dan stabilisator harga.
Kedepan lanjut Sultan, pemerintah harus lebih menguatkan intervensi terhadap kebutuhan pokok (beras) dengan tidak menyerahkan harga sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Intervensi dengan penetapan standar harga untuk sejumlah komoditas pokok seperti beras pasti dapat berdampak pada stabilitas harga secara jangka panjang.
"Dalam meningkatkan produktifitas petani, pemerintah harus melakukan dua hal, yaitu memberikan kepastian harga terhadap seluruh produk petani dalam negeri serta sekaligus melakukan pembatasan impor terhadap komoditas pokok tertentu. Jika itu terwujud, maka saya yakin petani nasional kita akan kuat, produktif dan sejahtera", tuturnya.
Ditanya mengenai keinginan pemerintah untuk melakukan impor beras dalam menghadapi lebaran, Sultan menanggapi bahwa jika produksi dalam negeri masih dapat memenuhi kebutuhan permintaan nasional, strategi jangka pendek yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan operasi pasar secara masif dengan melibatkan seluruh stakeholder; baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun kepolisian demi memastikan tidak ada pihak yang mengambil keuntungan dengan menimbun barang (beras) agar tidak terjadi kelangkaan serta permainan harga pada saat menjelang hari raya.
"Tidak boleh sedikit-sedikit impor, bahkan setiap tahun kita mengulang-ulang untuk dihadapkan oleh masalah yang sama. Padahal potensi pertanian kita sungguh luar biasa, hanya saja masalahnya selama ini produktifitas hasil tani kita belum optimal. Kita pernah swasembada beras, dan itu bisa kembali kita wujudkan bersama. Maka pemerintah harus fokus pada rencana jangka pendek terhadap masalah yang akan terjadi dalam waktu dekat dan juga membangun kebijakan yang berorientasi jangka panjang untuk kemajuan pertanian kita dimasa depan", tutupnya. (*)