TRIBUNNEWS.COM - Wacana pelaksanaan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II, kembali menyeruak di pemerintahan. Wacana ini diambil untuk mengurangi beban pajak, selama pandemi Covid-19 di tahun 2021 ini.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Sultan B Najamudin meminta pemerintah berkaca tax amnesty jilid I pada tahun 2016. Sultan berkata, sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak, harus difikirkan perencanaan yang matang.
"Tax amnesty jilid I saya rasa kurang berhasil untuk mengangkat ekonomi nasional, namun cara ini tidak 100 persen salah. Menurut saya, jika pemerintah memang ingin mengeluarkan kebijakan tersebut, harus memikirkan instrumen aturan yang memadai," ujar Sultan B Najamudin dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/3/2021).
Salah satu senator muda di DPD ini menambahkan, program tax amnesty alangkah eloknya hanya dilakukan sekali saja. Mengingat juga, pada tahun 2016, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan tidak akan ada tax amnesty jilid II.
"Pada tahun 2016, DJP pernah berujar bahwa pengampunan pajak hanya dilakukan satu kali. Namun, pemerintah berniatan untuk mengulang kembali. Ini akan menjadi nilai negatif bagi pemerintah, tapi saat pandemi Covid-19, pemerintah dituntut untuk meringankan pajak warga Indonesia. Ini jalan yang berbeda," jelas senator dari Bengkulu ini.
Lebih jauh, mantan Wakil Gubernur Bengkulu ini mengungkapkan, jumlah wajib pajak yang ikut tax amnesty jilid I kurang dari 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4 persen dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta.
Sedangkan dari segi uang tebusan, realisasi Rp114,5 triliun jumlah masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga di bawah target yaitu Rp146,7 triliun, berbanding jauh dengan janji awal yang sempat dibahas di DPR yaitu sebesar Rp1.000 triliun.
"Berkaca dari raihan tax amnesty jilid I rasio pajak bukan naik malah turun. Jika dihitung dari 2007 ke 2017, tax ratio Indonesia tercatat turun sebesar 0,7 persen poin, dari 12,2 persen menjadi 11,5 persen," ungkap Sultan.
Terakhir dia berharap, untuk memperbaiki ekonomi Indonesia dalam segi pajak, baiknya memandang ketimpangan antara kelompok Wajib Pajak (WP) dari menengah ke bawah dan menengah atas. Menurutnya, kini sudah waktunya menyelesaikan masalah ketimpangan ekonomi serta penggelapan pajak.
"Waktunya mengejar penggelapan pajak, kalau perlu pajak untuk orang kaya yang dinaikkan karena gap ketimpangan selama pandemi makin lebar," pungkas kader jebolan HIPMI ini.
Sebelumnya, kebijakan tax amnesty tertuang dalam UU No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak. Implementasi kebijakan ini adalah rekonsiliasi antara wajib pajak dan pemerintah.
Dimulai pada Juli 2016, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun yang Rp1.036,7 triliun di antaranya berasal luar negeri. Selain itu, otoritas pajak juga mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun.
Dari sisi tingkat partisipasi, jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan pajak kurang dari 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4 persen dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta.
Dari segi uang tebusan, realisasi Rp114,5 triliun jumlah masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. (*)